Jumat, 11 Maret 2011

Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi

oleh abu salma

صيانة الطلاب من شبه الطالبي
Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi
(Bagian 1)
Oleh :
Abu Salma bin Burhan Yusuf
الحمد لله رب العاليين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، إله الأولين والآخرين، وقيوم السماوات والأرضين، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخليله وأمينه على وحيه، أرسله إلى الناس كافة بشيرا ونذيرا، وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه الذين ساروا على طريقته في الدعوة إلى سبيله، وصبروا على ذلك، وجاهدوا فيه حتى أظهر الله بهم دينه، وأعلى كلمته ولو كره المشركون، وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Segala puji hanyalah milik Alloh Robb pemelihara alam semesta, dan tidak ada permusuhan melainkan hanya kepada orang-orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tidak sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, Dialah sesembahan yang awal dan yang akhir, penegak langit-langit dan bumi-bumi. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kesayangan dan kepercayaan-Nya atas wahyu-Nya, yang diutus kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, yang menyeru kepada Alloh dengan izin-Nya dan pemberi pelita yang terang benderang. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan para sahabat beliau yang meniti jalan beliau di dalam dakwah, yang sabar dan senantiasa berjihad di dalam dakwah hingga Alloh memenangkan bagi mereka agama-Nya, dan Alloh tinggikan kalimat-Nya walaupun orang-orang musyrik benci. Amma Ba’du :
Alloh Azza wa Jalla berfirman :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (an-Nahl : 125)1
Alloh Azza wa Jalla berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ َتَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Al-Ma’idah : 2)2


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
الدين النصيحة, قيل: لمن يا رسولله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولإئمة المسلمين وعامتهم
Agama itu nasehat”, beliau ditanya : “bagi siapa wahai Rasulullah?”, Rasulullah menjawab : “Bagi Alloh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum.” (HR Muslim dari Tamim ad-Dari).
Imam Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullahu berkata :
كيف ينجيني عملي وأنا بين حسنة وسيئة فسيئاتي لاحسنة فيها وحسناتي مخلوطة بالسيئات وأنت لا تقبل إلا الإخلاص من العمل فما بقي بعد هذا إلا جودك.
Bagaimana mungkin aku diselamatkan oleh amal perbuatanku sedangkan aku berada di antara kebaikan dan kejelekan? Perbuatan jelekku tiada kebaikan padanya sedangkan perbuatan baikku tercemar oleh kejelekan dan Engkau (Ya Alloh) tidaklah menerima kecuali amal yang murni yang hanya dipersembahkan untuk-Mu. Tiada harapan setelah ini melainkan hanyalah kemurahan-Mu.”3


Sungguh indah apa yang diucapkan oleh seorang penyair :
كم من كتاب قد تـصفحته وقلت في نفسي لقد صححته
ثم إذا طـالعته ثــانيــا رأيت تـصحيـفا فأصلحته
Betapa banyak buku yang telah kubaca
Kukatakan di dalam hati, semuanya kubenarkan
Kemudian tatkala kutelaah untuk kali kedua
Kutemui kesalahan maka kubenahi (agar benar)4


Seorang al-Akh telah mengirimi saya sebuah sms dan memberitahukan bahwa saudara Abu Abdirrahman ath-Thalibi, penulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” telah menulis tanggapan (bantahan) terhadap risalah saya yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” dan disebarkan di forum MyQuran. Qodarullah, akhir-akhir ini saya sangat sibuk dan sangat sulit sekali meluangkan waktu untuk bisa online di internet, sehingga baru kemarin (Sabtu, 9 Desember 2006) saya bisa mengkopi dan membaca tulisan Ath-Thalibi ini.
Dengan mengharap ridha Alloh Subhanahu wa Ta’ala, saya goreskan catatan kecil terhadap risalah saudara ath-Thalibi. Akhirnya saya putuskan untuk menulis risalah ini di tengah-tengah kesibukan saya padat, sehingga muthola’ah (penelaahan) kepada sumber referensi sangatlah minim oleh karena itu haraplah dimaklumi. Berangkat dari kewajiban dan sebagai hak sesama muslim untuk saling menasehati dan mengingatkan, maka saya luangkan waktu yang sempit ini untuk sedikit memberikan catatan kepada tulisan al-Akh Abu Abdirrahman ath-Thalibi.
Sebelumnya saya ucapkan syukron wa Jazzakallohu Khoyrol Jazaa’ kepada al-Akh ath-Thalibi yang mau meluangkan waktunya untuk menggoreskan tinta sebagai nasehat kepada saya, al-Faqir ila ‘Afwa Robbihi. Ath-Thalibi telah memberikan 14 catatan kepada tulisan saya, dan telah saya baca seluruhnya. Semula saya mengira bahwa akan ada suatu ilmu baru bagi saya dari al-Akh ath-Thalibi, namun setelah membacanya, ternyata diri ini sedikit kecewa, karena apa yang digoreskan oleh ath-Thalibi ternyata kurang memiliki daya bobot ilmiah –menurut saya- dan terkesan falsafi dengan membawa zhahir ucapan saya kepada pemahaman yang tidak benar serta memiliki syubhat-syubhat yang harus diluruskan.
Setelah berfikir cukup lama, akhirnya saya tuliskan bantahan ini dengan judul Shiyanatu ath-Thullab min Syubahi ath-Thalibi (Perisai penuntut ilmu dari syubhat ath-Thalibi) yang saya persembahkan kepada para penuntut ilmu yang obyektif, yang mau menelaah dalil dan argumentasi dengan kaca mata ilmiah. Mungkin, sebagian orang akan berkata bahwa judul risalah saya ini sangat menyeramkan dan kejam, namun apabila melihat balik dari judul yang diberikan oleh ath-Thalibi di dalam forum MyQuran, yaitu “Penyimpangan Pemikiran Abu Salma”, maka saya rasa judul yang saya berikan ini adalah sepadan. Lagian, judul yang saya berikan ini tidak ada kata vonis bahwa ath-Thalibi telah menyimpang dan sesat, namun beliau hanyalah menyebarkan syubhat dikarenakan ketidakfahaman ataupun kesalahfahaman beliau. Adapun judul tulisan ath-Thalibi di atas telah mengandung vonis bahwa pemikiran saya menyimpang.
Tapi, tidaklah mengapa… saya tidak merasa marah ataupun emosi dengan tulisan saudara ath-Thalibi, bahkan saya tersenyum geli dan lapang dada. Karena saya tidak begitu memperdulikan apabila ada orang menghujat ataupun mencerca diri saya, karena itu adalah hak mereka, namun kemarahan saya akan terbakar apabila sunnah Rasulullah dan para ulamanya dicela.
Patut diingat, sesungguhnya semua hal yang kita lakukan adalah ada pertanggungjawabannya. Dan insya Alloh kita semua harus mempersiapkan diri di dalam pertanggungjawaban ini. Semoga apa yang saya goreskan di sini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, bagi saudara ath-Thalibi dan seluruh kaum muslimin.
Berikut adalah beberapa tanggapan saya :
Ath-Thalibi : Tulisan Ustadz Abu Salma berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”. Secara umum, tulisan ini sudah bisa disebut sebagai bantahan (radd) terhadap acara bedah buku STSK. Sebagai bantahan bedah buku, sudah ada wujud-nya, tetapi apakah ia memadai untuk menjawab seluruh isu yang dibahas dalam bedah buku tersebut, itu perkara lain. Tiga acara bedah buku ini kalau ditotal mungkin bisa mencapai 10 jam pembicaraan. Berarti sangat banyak isu-isu yang harus dibahas disana, jika ingin hasil yang memuaskan. Namun, di kalangan Salafi, hal seperti ini sering diklaim sebagai bantahan yang sempurna. Dalam pembicaraan, mereka biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!” Jika ada bantahan, seharusnya ikhwan Salafi jangan cepat puas, tapi cobalah melakukan tarjih. Hal ini penting agar yang kita cari itu murni kebenaran, bukan hujjah-hujjah semu sekedar untuk memuaskan kebanggaan kelompok.
Tanggapan : Apabila saudara ath-Thalibi jeli membaca tulisan saya di atas yang berjudul “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman”, maka seharusnya saudara ath-Thalibi faham, bahwa tulisan saya di atas adalah tanggapan atas email saudara Hafizh Abdurrahman yang menukil ucapan-ucapan tokoh-tokoh pergerakan pada acara bedah buku “STSK”, yang belakangan saya ketahui bahwa nukilan-nukilan ini termuat di dalam website Pustaka Al-Kautsar.
Dikarenakan nukilan inilah yang terhighlight dan terblow-up di media internet, maka tantu saja hanya nukilan itu saja yang saya komentari. Memang benar saya tidak mengomentari seluruh kegiatan acara bedah buku tersebut dan risalah saya tersebut tidak untuk membantah seluruh rangkaian bedah buku tersebut, terlebih saya tidak mengetahui dan tidak hadir di dalam acara bedah buku tersebut. Jadi yang saya komentari adalah ucapan-ucapan mereka yang dihighlight dan dimuat di website Al-Kautsar dan dikirimkan oleh saudara Hafizh Abdurrahman kepada saya via email.
Apabila ada yang bertanya, kenapa saya berani menjawab ucapan mereka padahal saya tidak mendengar perincian ucapan mereka seluruhnya, maka saya jawab : bahwa yang terblow up dan tersebar di dunia maya adalah nukilan ucapan mereka yang mendiskreditkan dakwah salafiyah, sehingga hanya penggalan nukilan tersebutlah yang menyebar. Apabila ada perincian dari penggalan nukilan tersebut, maka tidak seharusnya hanya mempublikasikan penggalan nukilan itu saja, yang mana dapat diasumsikan sebagai kesimpulan ucapan para tokoh tersebut. Apabila ada perincian, maka perincian tersebut haruslah dijelaskan, karena apabila tidak, maka sama saja dengan menunjukkan bahwa esensi seluruh ucapan para tokoh tersebut adalah pada penggalan penukilan tesebut.
Dan sungguh amat disayangkan, saudara ath-Thalibi membuat opini yang sangat subyektif sekali, dimana ia mengatakan “Dalam pembicaraan, mereka (salafi) biasa mengatakan, “Tenang saja! Buku Abduh itu sudah dibantah oleh ustadz kita dengan dalil yang kokoh!”, padahal saya belum pernah mendengarkan ucapan seperti ini. Taruhlah apabila benar, maka saudara ath-Thalibi sesungguhnya telah menukilnya dari awwamus salafiy, maka tidaklah seharusnya ia jadikan sebagai standar penilaian. Karena ucapan para awwam bukan merupakan hujjah, sebagaimana pula banyak awwamul harokiy mengutarakan ucapan-ucapan yang lebih dahsyat dan lebih nyeleneh dari ucapan di atas. Namun bukanlah ini inti pembahasan kita.
Ath-Thalibi : Abu Salma sangat sering menampilkan syair-syair Arab dalam tulisannya. Hal ini sebenarnya bagus, syair-syair itu akan semakin memperindah kualitas tulisan. Hanya saja yang patut dicatat, Abu Salma sering menempatkan syair-syair itu di awal-awal tulisan, sehingga dengan cara itu beliau berusaha mengokohkan posisi dirinya, dan secara halus mulai memojokkan pihak-pihak yang akan dibantahnya. Contoh dalam tulisan di atas ialah syair berikut: “Seandainya bukan penghinaan terhadap singa maka saya serupakan mereka dengannya. Akan tetapi singa jarang di dapat diantara binatang ternak.” Syair ini saja sudah mengandung tiga serangan, yaitu: Satu, kata ‘penghinaan’ yang menunjukkan maksud penulis. Dua, penyerupaan dengan singa. Tiga, sifat singa lebih tinggi dari binatang ternak. Ini serangan bertingkat tiga yang intinya memojokkan semua. Disarankan, kalau memuat syair Arab, letakkan ia di tengah-tengah atau di akhir tulisan, jangan di awal tulisan. Jadi, kemukakan dulu kekuatan hujjah-hujjah Anda, setelah itu baru perkokoh dengan syair yang tepat. Hal ini lebih fair daripada merasa “menang sebelum bertanding” karena dibantu oleh syair-syair.
Tanggapan : Sungguh sangat mengherankan, seorang penulis yang cukup terkenal seperti ath-Thalibi mengkritisi metode penulisan hanya pada penempatan syair yang mana hal ini adalah suatu hal yang fleksibel dan tidak ada aturan bakunya. Dan anehnya lagi, beliau berani melakukan penakwilan-penakwilan sendiri –dan penakwilan seperti ini sangat sering dilakukan oleh ath-Thalibi pada tulisannya mendatang-.
Hanya karena ushlub penulisan yang saya gunakan, Ath-Thalibi telah berani menvonis diri saya dan mengatakan bahwa saya telah berusaha mengokohkan posisi saya dan merasa menang sebelum bertanding. Ini sungguh adalah suatu tuduhan dan vonis yang keji. Apabila saudara ath-Thalibi mau obyektif dan tenang –tidak emosi- membaca tulisan saya niscaya dia tidak akan mengutarakan kata-kata tuduhan keji seperti ini. Saya sarankan agar saudara ath-Thalibi lebih menfokuskan kepada esensi penyimpangan pemikiran saya, bukan kepada ushlub penulisan yang sebenarnya fleksibel dan mencari-cari kesalahan dengan penakwilan-penakwilan yang batil.
Apabila kita menggunakan falsafah dan logika berfikir ath-Thalibi, maka bagaimana kita mensikapi ucapan Imam asy-Syafi’i berikut ini :
قل بما شئت في مسبة عرضي فسكوتي عند اللئيم جواب
ما أنا عادم الجواب ولكن ما من الأسد أن تجيب الكلاب
Berkatalah sekehendakmu untuk menghina kehormatanku
Toh, diamku dari orang hina adalah suatu jawaban
Bukanlah artinya aku tidak punya jawaban, tetapi
Tidak pantas bagi seekor singa meladeni anjing-anjing5
Apakah akan kita katakan bahwa Imam Syafi’i memuji dirinya bagaikan singa dan lawan-lawannya disifatkan sebagai anjing??? Haihata haihata…
Ath-Thalibi : CATATAN: Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu. Lalu bagaimana dengan Syaikhul Islam sendiri? Apakah beliau memakai nisbat As Salafi Al Atsari? Ternyata tidak. Hampir-hampir kita tidak pernah mendengar Syaikhul Islam menuliskan namanya, misalnya Taqiyuddin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah As Salafi. Jika beliau mengatakan boleh, tetapi beliau tidak pernah memakai nisbat seperti itu, berarti perkara ini bukan termasuk penting menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Wallahu a’lam.
Bahkan pada nukilan di atas, cara menerjemahkannya perlu diperbaiki. Kalau melihat teks aslinya, mungkin yang lebih tepat seperti ini: “Tidak tercela bagi siapa yang menampakkan madzhab Salaf dan berintisab kepadanya, dan berbangga kepadanya, akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya, sebab madzhab Salaf itu tidak ada padanya, selain kebenaran.” Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib. Intinya, mengimani kebenaran manhaj Salafus Shalih lebih utama dari sekedar memakai nama Salafi.
Tanggapan : Di sinilah letak talbis dan syubhat utama dan pertama saudara ath-Thalibi, oleh karena itu kepada para pembaca agar jeli melihat pembahasan ini. Supaya lebih jelas, ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu akan saya nukilkan :
لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً
Tidak tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta berbangga dengan madzhab salaf, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan karena tidaklah madzhab salaf kecuali benar”. (Majmu’ Fatawa IV:149).
Di dalam mengomentari kata laa ‘aiba, ath-Thalibi mengatakan : “Syaikhul Islam memulai perkataannya dengan kata laa ‘aiba, artinya tidak aib, tidak tercela, tidak hina, dsb. Kata seperti ini maksudnya tentu bukan: Hendaklah kalian, wajib bagi kalian, sunnah hukumnya, lebih afdhal, dsb. La ‘aiba itu tidak tercela, artinya boleh. Jika memang boleh, berarti sah-sah saja seseorang bernisbat ke istilah itu. Atau, boleh juga dia tidak memakai penamaan itu.
Saya katakan : Sungguh saudara ath-Thalibi telah menunjukkan hakikat dirinya bahwa dirinya tidak faham Bahasa Arab –akan datang penjelasannya lagi- dan mentakwil dengan pemahamannya sendiri. Ath-Thalibi dengan falsafahnya mengatakan bahwa kata laa ‘aiba artinya adalah hanya berimplikasi pada boleh, bukan wajib, sunnah ataupun lebih afdhal.
Apabila kita telaah, kata ‘aib itu sendiri adalah bermakna an-Nuqshoh atau al-Washmah, atau apabila kita translasikan artinya adalah kekurangan, cela atau cacat. Kata laa di sini adalah laa naafiyah (negasi, peniadaan). Jadi maksudnya adalah “tidaklah merupakan suatu cacat, cela, atau kekurangan”. Arti dari tidak cacat, tidak cela dan tidak kekurangan sama dengan lawan dari cacat, cela atau kekurangan, yaitu terpuji, mulia dan baik. Semua orang pasti mengatakan bahwa terpuji bukanlah hanya berimplikasi pada kebolehan belaka, namun merupakan keutamaan dan afdhaliyah. Oleh karena itu, kata laa ‘aiba itu tidak hanya membuahkan kepada kebolehan, namun kepada keutamaan, dan suatu hal yang diutamakan tentu adalah suatu hal yang dicintai (mustahab). Ini yang pertama.
Yang kedua, apabila kita menelaah balaghoh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu di atas, menunjukkan bahwa ucapan beliau di atas adalah bahasa pengingkaran dan jawaban. Maksudnya, ushlub gaya bahasa beliau adalah gaya pengingkaran, yaitu seakan-akan beliau mengingkari orang-orang yang menolak penisbatan kepada salafi dan menuduhnya sebagai suatu bid’ah atau merendahkan penisbatan ini. Oleh karena itu beliau menjawab : “Tidaklah tercela orang yang menampakkan madzhab salaf dan dia menisbatkan diri kepadanya serta merasa bangga dengannya…”. Jadi ini bukanlah ushlub khobar/berita belaka.
Bahkan, kalimat Syaikhul Islam berikutnya menunjukkan akan wajibnya menerima penisbatan ini dengan kesepakatan. Perhatikan ucapan Syaikhul Islam berikut ini :
بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق
“…bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan…
Kata dzalika di atas kembalinya kepada azhhar, intasaba dan I’tazaa bukan kepada madzhab salaf, karena diikuti oleh kata minhu dan hu di sinilah yang berarti madzhab salaf. Jadi taqdirnya adalah “bahkan wajib menerima menampakkan, menisbatkan diri dan berbangga dengan madzhab salaf menurut kesepakatan…”
Di sinilah ath-Thalibi keliru besar di dalam menterjemahkannya. Dia menterjemahkannya dengan : “akan tetapi wajib baginya menerima hal itu (madzhab Salaf) dengan cara menyepakatinya”. Subhanalloh, ath-Thalibi bermaksud memperbaiki penterjemahan namun malah merusaknya, rusak dari sisi pemahaman dan sisi bahasa. Saya tidak tahu, apakah ath-Thalibi tidak bisa berbahasa Arab ataukah dirinya sengaja melakukan talbis dan tadlis dengan penterjemahan yang menyimpang.
Dzalika diterjemahkan oleh ath-Thalibi dengan “hal itu” kemudian ditafsirkannya dengan madzhab salaf, lantas dimana letak fungsi kata minhu wahai Aba Abdirrahman? Padahal dzalika kembalinya adalah kepada pernyataan kalimat sebelumnya, bukan kepada madzhab salaf. Haihata haihata…
Lebih lucu lagi, ath-Thalibi menterjemahkan kata bil ittifaq adalah dengan “dengan cara menyepakatinya”, tentu saja maksudnya adalah “dengan cara menyepakati madzhab salaf”, sehingga implikasinya adalah sebagaimana ucapannya “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib.
Di sini ath-Thalibi jatuh kepada dua kesalahan fatal :
  1. Salah dalam penterjemahan dari sisi struktur gramatikal Bahasa Arab.
  2. Salah dalam pemahaman, dan ini adalah lebih fatal ketimbang yang pertama dan ini merupakan buah dari kesalahan yang pertama.
Yang benar, kata bil ittifaq maknanya adalah “menurut kesepakatan, ijma’ atau konsensus”. Bukan “dengan menyepakati madzhab salaf”. Jadi maksud Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah :
لا عيب على من أظهر مذهب السلف و انتسب إليه أو اعتزى إليه ، بل يجب قبول ذلك منه بالاتفاق فإن مذهب السلف لا يكون إلا حقاً
tidak tercela menampakkan madzhab salaf, menyandarkan diri padanya dan berbangga dengannya, bahkan wajib menerima hal ini (pernyataan ini) kepadanya dengan kesepakatan (para ulama). Karena tidaklah madzhab salaf itu melainkan hanya kebenaran padanya.”
Semua dhamir hu (kata ganti –nya) pada kalimat di atas kembalinya adalah ke madzhab salaf, dan kata dzalika kembalinya kepada pernyataan sebelumnya yaitu “menampakkan, menyandarkan diri dan berbangga kepadanya (madzhab salaf)”.
Sebagai tambahan silakan baca terjemahan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini pada buku-buku berikut :
  1. Mengapa Memilih Manhaj Salaf”, pent : Ust. Khalid Syamhudi, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 39, paragraf ke-4.
  2. Studi Dasar-Dasar Manhaj Salaf”, pent : Fuad Riady, Pustaka Barokah, cet. I, hal. 25, paragraf terakhir.
  3. Jama’ah-Jama’ah Islamiyah” jilid 2, Pent : Ust. Abu Ihsan, Pustaka Imam Bukhari, cet. I, hal. 367, paragraf 3.
  4. dll.
Coba baca dan bandingkan terjemahan ath-Thalibi dengan para penterjemah di atas. Niscaya anda akan mengetahui hakikatnya…
Ketiga, ath-Thalibi mengatakan “Dalam soal intisab (memakai penamaan), Syaikhul Islam menghukuminya laa ‘aiba (tidak tercela), tetapi dalam menyepakati kebenaran madzhab Salaf, beliau menghukuminya wajib”. Di sini ath-Thalibi membatasi bahwa intisab hanyalah sekedar memakai penamaan belaka. Padahal intisab lebih daripada itu. Berikutnya, ath-Thalibi menakwilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas dengan penakwilan yang jauh. Apabila kita kembali membaca ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas, komentar ath-Thalibi ini akan batal dengan sendirinya.
Saya setuju, penamaan as-Salafy, al-Atsari dan semisalnya bukanlah suatu hal yang wajib. Namun menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah wajib. Karena menisbatkan diri ke madzhab salaf adalah menisbatkan cara beribadah, berakhlaq, beraqidah dan beragama kita dengan cara beragama para salaf. Ath-Thalibi salah faham dengan pernyataan bahwa penisbatan itu sama dengan penamaan. Padahal penisbatan itu bisa dengan nasab, tanah kelahiran, madzhab, cara beragama dan selainnya. Penisbatan dalam artian cara beragama maka wajiblah disandarkan kepada para salaf…
Kepada ath-Thalibi saya katakan :
إذا ما الأصل ألفي غير زاك فما تزكو مدى الدهر الفروع
Apabila Pondasinya tidak kuat
Maka cabangnya pun akan demikian sepanjang masa
Ath-Thalibi : Setelah menyimpulkan tentang istilah Salafi (kesimpulan tuduhan pertama), Ustadz Abu Salma menukil perkataan Ustadz Abduh ZA, lalu mengomentarinya: “Apabila al-Ustadz (Abduh ZA. –pen) menafikan sebagai nisbat kepada madzhab salaf, maka berarti al-Ustadz telah jatuh kepada celaan terhadap mereka –para ulama sebelum Ibnu Taimiyah-. Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??”
CATATAN: Ustadz Abu Salma, Antum kan sering menasehati ikhwan Salafi tertentu dengan perkataan: “Ittaqillah ya Akhi!” Maka, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain. Perkataan Antum di atas jelas merupakan tuduhan kepada Abduh ZA. Antum menuduhnya TELAH MENCELA ulama-ulama sebelum Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Abduh ZA, hanyalah soal PENAMAAN (nisbat), bukan ruju’-nya seseorang kepada madzhab Salaf. Ulama-ulama sejak dulu ruju’ kepada madzhab Salaf, tetapi dalam soal nama, mereka kebanyakan tidak memakai nama As Salafi atau Al Atsari. Bahkan sampai saat ini banyak ulama-ulama Salafi yang tidak memakai nama itu. Contoh, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, Syaikh Yahya An Najmi, Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Aljazairi, dsb. Antum pernah melihat mereka menyebut namanya dengan nisbat As Salafi Al Atsari?
Antum berkata, “Karena apabila mereka tidak bernisbat kepada madzhab Salaf maka kepada apakah mereka bernisbat??” Akhi rahimakallah, Antum harus bedakan benar antara NISBAT dengan ITTIBA’. Nisbat itu memakai nama yang dikaitkan dengan perkara-perkara tertentu, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti suatu ajaran tertentu. Kewajiban Syar’i yang kita terima ialah mengikuti (ittiba’) Salafus Shalih (Surat An Nisaa’: 115), adapun soal nama terserah masing-masing orang, asalkan baik dan terpuji.
Tanggapan : Wahai Aba Abdirrahman wafaqokallahu, fahamkah anda dengan bahasa? Pasti anda lebih faham daripada saya. Namun mengapa anda palingkan perkataan saya kepada makna yang tidak benar?
و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?
Sebabnya karena pemahaman yang salah/buruk
Tahukah anda kalimat syarth?? apabila anda tidak tahu maka perhatikan ucapan saya berikut ini. Misal dikatakan : “Apabila fulan mencuri niscaya dia saya sebut sebagai pencuri”. Bisakah dikatakan (baca : disimpulkan) bahwa saya telah menuduh fulan sebagai pencuri? Orang yang berakal tentu akan mengatakan, tidak bisa. Karena saya memberikan persyaratan pada awal kalimat, yaitu apabila si fulan mencuri. Lantas bagaimana bisa anda tuduh dan vonis saya bahwa saya telah menuduh Ustadz Abduh ZA TELAH MENCELA para ulama sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu??? Oleh karena itu saya kembalikan ucapan anda, saya pun mengharapkan Antum juga berhati-hati ketika mengomentari pernyataan orang lain.
Di sini, anda juga tidak faham beda antara nisbat dengan tasammi (penamaan). nisbat bermakna at-Tanasub (perimbangan), at-Ta’aluq (pertalian) dan at-Tanaasub (persesuaian). Nisbatpun juga bermacam-macam, bisa dengan nasab (keturunan), bisa dengan tanah air, wilayah, daerah, madzhab, karakteristik dan lain sebagainya. Dan menisbatkan diri kepada madzhab salaf adalah suatu keniscyaan, karena penisbatan ini adalah penyandaran kepada madzhab dan cara beragama kepada as-Salaf ash-Shalih. Adapun at-Tasammi itu hukumnya boleh-boleh saja dan sah-sah saja, baik berbentuk nisbat maupun bukan. Baik nisbat kepada daerah, madzhab ataupun selainnya.
Apabila kita tidak menolak istilah Syafi’iyah, Hanabilah, Malikiyah dan lain sebagainya, padahal penisbatan ini adalah penyandaran kepada individu-individu yang tidak ma’shum maka tentunya kita tidak akan menolak istilah salafiyah, karena ini adalah penisbatan kepada madzhab salaf seluruhnya, bukan kepada indivdiu tertentu. Bahkan, bukankah antum juga menggunakan nisbat ath-Tholibi??? Kepada apakah antum bernisbat? Apakah nisbat antum bukan bagian dari tazkiyah linafsi? Apabila bukan, tentu penisbatan ke salaf adalah lebih mulia dan utama.
Saudara ath-Thalibi, sesungguhnya apabila anda melihat adanya praktek yang salah dari para muntasibin kepada manhaj salaf, maka salahkanlah oknum-oknumnya, bukan nisbat itu sendiri. Karena siapa saja berhak untuk menisbatkan diri kepada manhaj salaf. Namun penilaian itu bukanlah dari penamaan belaka, namun dari hakikatnya. Apabila ada orang yang menggembargemborkan dirinya sebagai salafi sejati tetapi ia menyelisihi manhaj salaf dalam banyak hal, maka dakwaannya atau klaimnya tidak selamat begitu saja. Karena klaim (dengan penisbatan misalnya) haruslah dibuktikan dengan realita, sebagaimana perkataan seorang penyair :
وإذا الدعاوى لم تقم بدليلها بــ النص فهي على السفاه دليل
Jika para pendakwa tidak menopang dalilnya dengan argumentasi
Maka dia berada di atas selemah-lemahnya dalil
Oleh karena itu saya sarankan kepada saudara ath-Thalibi agar membaca kembali ulasan saya tentang nisbat kepada salafiyah ini pada risalah “Menjawab Tuduhan Meluruskan Kesalahpahaman” jawaban terhadap tuduhan pertama.
Ath-Thalibi : Setelah menyebutkan pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan tentang esensi mengikuti manhaj Salaf, Abu Salma mengatakan: “Adapun jika maksudnya adalah sebagai penisbatan kepada madzhab salaf, sebagai pengakuan bahwa madzhab salaf adalah madzhab yang paling haq, bukan dalam rangka tazkiyatun lin nafsi apalagi hizbiyah. Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan dimana tiap hizb bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing, maka penisbatan dan penyebutan kata as-Salafiy, al-Atsariy, as-Sunniy atau yang semisalnya adalah suatu penisbatan terpuji.”
CATATAN: Ini adalah kalimat-kalimat yang membatalkan dirinya sendiri. Abu Salma mengatakan bahwa istilah Salafi bukan untuk mentazkiyah diri sendiri (menganggap diri suci, atau memiliki kemuliaan tertentu). Tetapi penjelasan selanjutnya menjelaskan bahwa kaum Salafi merasa lebih benar dari firqoh-firqoh, dari hizbi-hizbi yang ada, sehingga perlu identitas PEMBEDA. Kalau tidak bermaksud mensucikan diri di tengah Ummat Islam, buat apa harus diadakan identitas (penamaan) tertentu? Bahkan perhatikan kalimat berikut, “Untuk membedakan diri dari firqoh-firqoh yang sedang berkembang pesat di zaman ini, untuk membedakan diri dari hizbiyah yang membinasakan.” Firqah-firqah yang dimaksud tentu bukan Firqatun Najiyyah (kelompok yang selamat), sebab firqah terakhir ini jumlahnya satu (wahida), sedangkan Abu Salma menulis ‘firqah-firqah’. Lebih menarik lagi, Abu Salma mengatakan bahwa setiap hizb (partai) bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Lalu bagaimana dengan Abu Salma sendiri yang sampai “jungkir-balik” membela istilah Salafi itu? Apakah itu juga bukan bagian dari membanggakan kelompok? Tanpa harus diberitahu pun, perbuatan itu akan mencerminkan isi hati.
Tanggapan : Sekali lagi ath-Thalibi terjebak di dalam pemahamannya sendiri yang kontradiktif. Apakah ath-Thalibi menolak akan terpecahbelahnya umat Islam menjadi firqoh-firqoh? Tentu saja tidak. Namun, ath-Thalibi dalam uraiannya menunjukkan bagaimana dirinya menolak adanya tafaruq yang membinasakan di tengah-tengah umat Islam. Saya ingin bertanya kepada ath-Thalibi? Apakah syi’ah, khowarij, murji’ah, jahmiyah, mu’tazilah, shufi dan sebagainya itu kelompok sesat atau bukan? Insya Alloh ath-Thalibi akan bersepakat dengan saya bahwa mereka sesat. Apakah mereka telah punah? Jika ath-Thalibi bersepakat dengan saya dia akan mengatakan tidak, kelompok-kelompok tersebut masih eksis/ada dan bertransformasi ke dalam bentuk-bentuk lainnya.
Mungkin bedanya saya dengan ath-Thalibi adalah di dalam mengidentifikasi jelmaan kelompok-kelompok sesat ini di dalam formasi yang baru. Pembahasan ini adalah pembahasan yang panjang dan butuh pembahasan tersendiri. Namun yang pasti, bukankah setiap kelompok itu memiliki ciri khas tersendiri yang mereka akan terbedakan antara satu dengan lainnya.
Adapun harokah-harokah kontemporer, misalnya simpatisan IM, maukah mereka disebut sebagai syabab HT? atau sebaliknya? Saya yakin mereka tidak mau. Kalau seandainya mau, maka itu hanyalah retorika belaka yang kosong dari kebenaran. Maukah orang PKS mencoblos PKB saat pemilu? Saya yakin tidak mau? Kenapa? Bukankah sama-sama islam? Sama-sama partai Islam? Berbasis massa Islam? Kenapa koq tidak mau? Karena manhaj mereka berbeda.
Mungkin akan ada yang berkata, “saya Islam, saya bukan HT, bukan IM atau kelompok-kelompok lainnya”. Maka saya katakan kepadanya, “khowarij –menurut pendapat yang rajih- Islam atau bukan? Syiah –sebagiannya- Islam atau bukan? Shufi Islam atau bukan?” Maka mau tidak mau haruslah ia menjawab Islam. Lantas saya tanyakan kepadanya, “Islam yang manakah anda? Padahal kelompok-kelompok tersebut juga Islam!” walau mungkin ia akan bersikukuh dengan ucapannya bahwa ia hanyalah Islam saja, namun pastilah ia akan memaksudnya dengan Islam sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Baik, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah hujjah tak terbantahkan bagi ummat islam. Namun bukankah kelompok-kelompok Islam yang menyimpang juga menggunakan keduanya sebagai hujjah? Walaupun dengan pemahaman mereka masing-masing. Lantas dengan pemahaman apakah anda memahami keduanya? Seorang muslim sejati pasti akan mengatakan menurut pemahaman as-Salaf ash-Shalih.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah IM, HT, JT dan sebagainya adalah Islam? Tentu, mereka adalah islam? Apakah mereka berhujjah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah? Tentu. Apakah mereka memahami keduanya dengan pemahaman salaf? Sebagian besar mungkin mengklaim demikian, namun klaim belaka tidaklah menunjukkan hakikat sebenarnya. Walau begitu, mereka memiliki pemahaman aqidah, manhaj dan pemikiran yang berbeda-beda. Hal ini merupakan suatu sunnatullah. Namun apakah semua perbedaan ini adalah benar?
Tentu saja tidak! Karena kebenaran itu tidak berbilang. Perselisihan dan perpecahan itu adalah adzab dan kesesengsaraan. Ini adalah realita nubuwah. Jadi, bertahazzub, masuk ke dalam golongan yang ada pendiri, tahun diberdirikan, ketua, anggota dan lain sebagainya, tiap golongan memiliki manhaj tersendiri, dan menjadikannya sebagai dasar wala’ dan baro’, maka ini semua adalah bentuk tafarruq. Orang IM mau tidak mau maka ia adalah ikhwani, orang HT adalah tahriri, orang JT adalah tablighi dan seterusnya. Ini adalah konsekuensi yang tidak bisa tidak.
Oleh karena itu, tidak ada celanya menampakkan diri kepada madzhab dan manhaj salaf, berintisab kepadanya dan berbangga-bangga dengannya, bahkan wajib menerimanya dengan kesepakatan para ulama, karena tiadalah pada manhaj salaf melainkah hanyalah kebenaran. Apabila ini dikatakan sebagai bentuk hizbiyah juga, maka tidaklah mengapa, karena hizbi-nya disandarkan kepada as-Salaf, apabila dikatakan sebagai bentuk ashobiyah maka tidaklah mengapa, karena ashobiyahnya kepada madzhab yang ma’shum yaitu madzhab salaf. Kebenaran pastilah memiliki lawan, yaitu kebatilan, dan keduanya akan terus bergumul dan bertikai hingga hari kiamat. Imam Ibnul Qoyyim di dalam al-Kafiyah asy-Syafiyah (217) berkata
والحق منصور وممتحن فلا تعجب فهذي سنة الرحمن
Kebenaran itu akan menang dan mendapat ujian, maka janganlah
Heran, sebab ini adalah sunnah ar-Rahman (sunnatullah).
Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Karena Salafiy sejati tidaklah menvonis sesat, bid’ah, fasik bahkan kafir melainkan dengan ilmu dan kehati-hatian. Mereka tidaklah akan menerapkan hukum sebelum menegakkan syarat-syaratnya dan menghilangkan penghalang-penghalangnya. Mereka senantiasa berpijak atas dasar ilmu dan bashiroh. Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah salafiyah sedikitpun.
CATATAN: Mohon perhatikan kalimat terakhir, “Apabila ada sekelompok kaum yang menyelisihi hal ini, maka ketahuilah, ia bukanlah Salafiyah sedikit pun.” Jadi, disini ada Salafi sejati dan ada Salafi yang cuma ngaku-ngaku. Pertanyaannya, siapakah Salafi sejati? Apakah Abu Salma, guru-gurunya, dan teman-temannya masuk di dalamnya? Jika membaca kegigihan Abu Salma dalam membela istilah Salafi dan menyebutkan sifat-sifatnya, mudah disimpulkan bahwa Salafi sejati adalah diri mereka. Selanjutnya, bagaimana dengan Salafi palsu? Abu Salma menegaskan dengan kalimat, “IA BUKANLAH SALAFIYAH SEDIKIT PUN.” Sejak semula Abu Salma menegaskan bahwa Salafiyah adalah manhaj para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in radhiyallahu ‘anhum. Dengan kata lain ia adalah ajaran Islam itu sendiri. Bahkan ajaran Islam yang masih murni, ketika belum tercampur ajaran-ajaran lain. Jika seseorang atau sekelompok orang dikatakan BUKAN SALAFIYAH SEDIKIT PUN, berarti tidak ada kebaikan Islam dalam dirinya. Salafiyah adalah Islam, atau ia adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Maaf Akhi, kalimat Antum itu sangat berat, karena disana ada kata SEDIKIT PUN. Padahal di kalangan ahlul bid’ah, di antara mereka masih ada yang menjalankan shalat lima waktu. Paling tidak kebaikan Salafiyah itu masih ada padanya, meskipun mungkin hanya sekian bagian. Ustadz Abu Salma harus berhati-hati ketika menulis, jangan tergoda oleh kalimat-kalimat hiperbola, tetapi tidak mengukur konsekuensi hukum di baliknya.
Tanggapan : Saya tidak habis fikir, apakah ini manhaj ilmiah seorang penulis buku yang konon laris bak kacang goreng, yang katanya berupaya berpegang kepada amanat ilmiah, tanpa tendensi pribadi dan buruk sangka, dengan analisa dan kacamata ilmiah yang tajam??? Namun, melihat bantahan ath-Thalibi di atas, saya benar-benar menjadi sangsi dan ragu, akan keilmiahan buku “DSDB”.
Apabila ath-Thalibi mau tenang, ilmiah dan tidak emosional, tentunya dia tidak akan berkata-kata sebagaimana ucapannya di atas. Wahai saudaraku Aba Abdirrahman ath-Thalibi hadaakallohu, tenanglah dan simaklah penjelasan saudaramu ini dengan baik.
Pertama, ketahuilah, bahwa ucapan saya di atas adalah intisari dari ucapan al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Beliau rahimahullahu berkata :
السلفية هي اتباء منهج النبي صلى الله عليه و سلم وأصحبه لأنه مَن سلفنا تقدموا علينا, فاتباعهم هو السلفية. وأما اتخاذ السلفية كمنهج خاص ينفرد به الإنسان ويضلّل من خالفه من المسلمين ولو كانوا على حقّ فلا شك أن هذا خلاف السلفية.
Salafiyyah adalah ittiba’(penauladanan) terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menvonis sesat orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!”
Beliau rahimahullahu melanjutkan :
لكن بعض من انتهج السلفية في عصرنا هذا صار يضلل كل من خالفه ولو كان الحق معه واتخاذها بعضهم منهجا حزبيا كمنهج الأحزاب الأخرى التي تنتسب إلى الإسلام وهذا هو الذي ينكر ولا يمكن إقراره.

Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan (manhajnya) dengan menvonis sesat setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan manhajnya seperti manhaj hizbiyah atau sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan.”
Syaikh melanjutkan lagi :
فالسلفية بمعنى أن تكون حزبا خاصا له مميزاته و يضلل أفراده سواهم فهؤلاء ليسوا من السلفية شيء. وأما السلفية التي هي اتباع منهج السلف عقيدة وقولا وعملا واختلافا واتفاقا وتراحما وتوادا كما قال النبي صلى الله عليه و سلم ((مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر)). فهذه هي السلفية الحقة.
Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membedakan diri (selalu ingin tampil beda) dan menvonis sesat selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!!.6
Apakah anda akan mengatakan hal yang sama dengan ucapan ini wahai ath-Thalibi???
Kedua, Tidaklah tersamar bahwa orang yang mengklaim tidak dengan serta merta selamat dari klaimnya, ia harus menunjukkan bukti. Dengan demikian tidak semua orang yang menyandarkan diri sebagai salafiyun maka dengan serta merta mereka adalah salafi! Saya katakan, benar perkataan anda, bahwa memang ada dalafi sejati dengan salafi palsu yang hanya ngaku-ngaku. Namun, apakah saya berani mengklaim bahwa saya adalah salafi sejati dan selain saya adalah palsu? Ma’adzallohu. Ini adalah tuduhan buruk, jelek dan fitnah kepada saya. Ini adalah tuduhan yang berangkat dari prasangka belaka dan kesimpulan yang gegabah.
Wahai ath-Thalibi, anda senantiasa menyeru untuk tidak mudah menvonis, menuduh dan semisalnya, namun anda amat seringkali melakukan hal yang berlawanan dengan ucapan anda. Wahai ath-Thalibi, apakah anda pernah membelah dada saya dan melihat bahwa maksud ucapan saya adalah saya mentazkiyah diri saya sebagaimana yang anda maksudkan???
Bahkan, apabila anda membaca risalah-risalah di dalam blog saya, niscaya anda akan faham, bahwa saya sedang menasehati saudara-saudara saya yang memiliki penyelewengan dalam sebagian manhaj mereka. Dan ucapan saya di atas adalah untuk siapa saja, muthlaq dan tidak boleh dita’yin kepada individu-individu tertentu.
Ketiga, anda tampaknya juga perlu belajar masalah hukmul mu’ayan dan hukmul muthlaq. Karena bukanlah artinya Laisu minas Salafiyyah sya’iun atau “ia bukanlah salafiyah sedikitpun” menyimpan masalah takfir di dalamnya. Memang benar bahwa salafiyah itu adalah ajaran Islam itu sendiri yang masih murni. Namun bukan artinya, orang yang tidak memiliki ‘alamat (tanda-tanda) salafiyah sedikitpun maka ia adalah non muslim alias kafir. Tidak demikian! Karena taqdir dari ucapan di atas adalah dalam masalah manhaj, yaitu manhaj salaf. Karena manhaj salaf memiliki karakteristik yang khas yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya. Adapun amalan, maka siapapun dapat beramal walaupun ia pembesar dan pembela kesyirikan, baik sholat, zakat, shodaqoh maupun lainnya. Namun yang dimaksud bukanlah hal ini. Maka perhatikanlah wahai saudaraku.
(Bersambung –insya Alloh-)
1 Al-Imam al-‘Allamah Ibnu Baz rahimahullahu berkata di dalam Ad-Da’watu ilallohi wa Akhlaaqud Du’aat menjelaskan ayat di atas :
فأوضح سبحانه الكيفية التي ينبغي أن يتصف بها الداعية ويسلكها، يبدأ أولا بالحكمة، والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Alloh Yang Maha Suci menjelaskan bagaimana cara/kaifiat yang sepatutnya bagi seorang da’i di dalam mengkarakteristiki cara dakwahnya dan menitinya, yaitu hendaklah dimulai pertama kali dengan hikmah, dan yang dimaksud dengan hikmah adalah dalil-dalil argumentasi yang tegas lagi terang yang dapat menyingkap kebenaran dan menolak kebatilan. Dengan demikian sebagian ulama ahli tafsir menafsirkan al-Hikmah dengan Al-Qur’an, dikarenakan Al-Qur’an merupakan hikmah yang paling agung, dan juga di dalam al-Qur’an terdapat penjelas dan penerang kebenaran dengan bentuk yang paling sempurna. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa maknanya adalah dengan dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.” [Lihat : Ad-Da’watu ilalloh wa Akhlaq ad-Du’aat oleh Imam Ibnu Baz rahimahullahu, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah : www.sahab.org. ]
2 Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata di dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim (II/7) menafsirkan : “Alloh Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Alloh melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.” [Lihat : “Intisari Ta’awun Syar’i”, Markaz Imam Albani, www.geocities.com/abu_amman].
3 Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam asy-Syu’bah no. 824. Dinukil melalui perantaraan Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, karya Fadhilatus Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani al-Jaza`iri, Maktabah al-Furqon, cet. VI, 1422/2001, hal. 41. Lihat pula terjemahannya yang berjudul “6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah” oleh Fadilatul Ustadz Abu Abdillah Mubarok Bamu’allim, Lc., Pustaka Imam Syafi’I, Cet. I, Muharam 1425/Maret 2004, hal. 88.
4 Min Buthunil Kutub (I/26) oleh Yusuf bin Muhammad al-‘Atiq; dinukil dari “Meluruskan Sejarah Wahhabi” karya saudara saya yang mulia, al-Ustadz Abu Ubaidah as-Sidawi, Pustaka Al-Furqon, Gresik, cet. I, Sya’ban, 1427.
5 Diwan asy-Syafi’i hal. 44, tahqiq DR. Imil Badi’ Ya’qub.
6 Liqo’ul Babil Maftuuh, pertanyaan no. 1322 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin; dinukil dari Aqwaalu wa Fataawa al-Ulama’ fit Tahdziri min Jama’atil Hajr wat Tabdi’, penghimpun : Kumpulan Para Penuntut Ilmu, cet. II, 1423/2003, tanpa penerbit.
صيانة الطلاب من شبه الطالبي
Perisai Penuntut Ilmu dari Syubhat ath-Thalibi
(Bagian 2)
Oleh :
Abu Salma bin Burhan Yusuf
Ath-Thalibi : Abu Salma berkata: “Adapun tuduhan salafiyin fanatik terhadap guru-guru, tokoh-tokoh dan ulama-ulamanya, ini juga tuduhan yang tidak benar. Karena salafiy tidak pernah fanatik kepada seorang pun kecuali kepada Rasulullah saw. Adapun fenomena yang ditangkap, tentang adanya sebagian oknum yang mengatasnamakan diri sebagai salafiy, lalu mereka menerapkan al-Wala’ (loyalitas) dan al-Baro’ (disloyalitas) kepada individu tertentu atas dasar fanatisme, maka ini bukanlah manhaj salaf.”
CATATAN: Akhi rahimakallah, secara teori, perkataan Antum ini benar. Tetapi dalam praktek, ia sangat sulit dicari buktinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ikhwan Salafi mencukupkan pengajian hanya dari ustadz-ustadznya sendiri, hadir di majlis-majlisnya sendiri, membaca majalah-majalahnya, membaca buku-buku dari penerbitnya, dan lebih sering menyebut nama-nama ulama tertentu saja. Ini sudah rahasia umum. Biarpun Antum mengingkari dengan 1000 alasan, tetapi kenyataan tidak mudah diubah. Sudah banyak diketahui, sebagian kalangan Salafi dekat dengan ulama-ulama Salafi dari Markaz Imam Al Albani. Salafi ini mengakui bahwa Syaikh Rabi’ Salafi, Syaikh Muqbil Salafi, Syaikh Aman Jami Salafi, Syaikh Yahya Najmi Salafi, tetapi mereka lebih condong ke ulama-ulama dari Markaz Imam Al Albani di Yordan. Bahkan Ustadz Abdurrahman At Tamimi (guru Abu Salma) dipercaya oleh murid-murid Al Albani untuk mengawasi peredaran buku-buku dari ulama-ulama di Markaz Al Albani yang beredar di Indonesia. Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi. Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.
Tanggapan : Di sini sangat tampak sekali bahwa saudara ath-Thalibi tidak memahami manhaj salaf di dalam mengambil ilmu –walaupun beliau menulis buku “Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak” dan menggunakan nisbat “ath-Thalibi”-. Untuk itu sebagai nasehat dan penjelasan, ada baiknya saya berikan sedikit gambaran tentang masalah ini -menuntut ilmu-.
Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullahu di dalam Hilyatu Tholibil ‘Ilmi (Perhiasan Penuntut Ilmu) bab Adabu ath-Tholib ma’a Syaikhihi (Etika Penuntut Ilmu dengan gurunya), pada poin no. 22 sub judul at-Talaqqi ‘anil Mubtadi’ (Belajar kepada ahli bid’ah), beliau nafa’allohu bihi berkata :
احذر (أبا الجهل) المبتدع الذي مسه زيغ العقيدة و غشيته سحب الخرافة يحكم الهوى ويسميه العقل ويعدل عن النص وهل العقل إلا في النص؟! ويستمسك بالضعيف ويعبد عن الصحيح ويقال لهم أيضا ((أهل الشبهات)) و((أهل الأهواء)) ولذا كان ابن المبارك وحمه الله تعالى يسمي المبتدعة: ((الأصاغر)).
Waspadalah belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat, yang memperturutkan hawa nafsu, namun ia menamakannya dengan mengikuti logika akal dengan berpaling dari nash. Ahli bid’ah ini berpegang dengan hadits yang dha’if dan menjauhi hadits yang shahih. Mereka juga dinamakan dengan ahli syubhat dan ahli ahwa’, oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mubarak menamakan ahli bid’ah dengan Asaghir (orang-orang rendahan).”1
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari : “Hindari belajar dari biang kebodohan yang ahli bid’ah, yang aqidahnya menyeleweng tertutupi oleh mendung khurofat. Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh Bakr Abu Zaed ini wajib kita ikuti, yaitu wajib bagi kita untuk menghindari ahli bid’ah dan perancang kebid’ahan yang memolesnya dengan sesuatu yang menarik dan mempesona. Merekalah orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam masalah aqidah, namun menamakannya dengan dalil akal, memang itu adalah akal namun akal mereka yang menghalangi mereka dari mendapatkan petunjuk dan kebenaran serta menyeret mereka kepada kesesatan. Mereka itu disebut oleh Imam Ibnul Qoyyim, mereka lari dari penghambaan yang mereka diciptakan untuk menghambakan diri kepada-Nya namun mereka terjatuh kepada penghambaan diri kepada hawa nafsu dan syaithan.”2
Syaikh Bakr Abu Zaed hafizhahullahu berkata :
و قال أيضا –الذهبي- رحمه الله تعالى: وقرأت بخط الشيخ الموفق قال: سمعنا درسه -أي ابن أبي عصرون- مع أخي أبي عمر وانقطعنا فسمعت أخي يقول: دخلت عليه بعد, فقال: لما انقطعتم عني؟ قلت: إن الناس يقولون إنك أشعري, فقال: والله ما أنا أشعري. هذا معني الحكاية.
Imam adz-Dzahabi rahimahullahu juga berkata : Saya membaca tulisan Syaikh al-Muwafiq (Muwafiqudin Ibnu Qudamah), beliau berkata, ‘Saya dan saudaraku Abu ‘Umar mengikuti kajian yang diajarkan oleh Ibnu Abi Ashrun, namun akhirnya kami tidak mengikuti pelajarannya lagi’. Lalu saya mendengar saudaraku berkata: ‘Setalah itu saya menemuinya dan dia berkata, ‘kenapa kalian tidak lagi mengikuti pelajaranku?’ Saya jawab: ‘Sesungguhnya saya dengar orang-orang berkata bahwa anda adalah seorang Asy’ariy’, maka dia berkata: ‘Demi Alloh saya bukan Asy’ariy’. Demikianlah ceritanya.”
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkomentar :
يستفاد أنك لا ينبغي أن تجلس لمبتدع وإن كانت بدعته حقيقية كبدعة الأشعري
Dapat dipetik faidah (dari kisah ini) bahwasanya tidak sepatutnya bagi anda duduk bermajlis (belajar) kepada ahli bid’ah apabila kebid’ahannya itu bid’ah haqiqiyah (nyata) semacam bid’ah Asy’ariyah.”3
Saya berkata : Semoga Alloh merahmati Imam Ibnu Utsaimin dan membalas Syaikh Bakr Abu Zaed dengan kebaikan, karena apa yang mereka utarakan adalah benar adanya. Apabila Imam Ibnu Qudamah dan saudaranya saja tidak mau bermajlis dengan orang yang tertuduh Asy’ariy padahal kenyataannya orang tersebut menolak tuduhan tersebut. Hal ini menunjukkan kehati-hatian para imam tersebut di dalam menimba ilmu. Lantas bagaimanakah dengan zaman ini dimana ahli bid’ah adalah mayoritas dan kebid’ahan mereka seringkali lebih dahsyat dan lebih beraneka ragam?!!
Ath-Thalibi berkata : “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain. Toh, ukurannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan Ummat beliau di Indonesia ini banyak, bukan hanya Salafi.” Wahai ath-Thalibi, umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memang banyak, namun pengikut sejati yang benar-benar meniti jalan beliau dan menghidupkan sunnah beliau, apakah banyak?? Wahai ath-Thalibi, lebih banyak manakah di zaman ini, ahli bid’ah yang bergelimpangan di dalam kebid’ahan ataukah ahli sunnah yang terasing dikarenakan berpegang teguhnya mereka dengan sunnah nabinya???
Sungguh indah apa yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullahu di dalam Madarijus Salikin (III/200) :
Apabila seorang mukmin menghendaki supaya Alloh menganugerahinya bashiroh (ilmu yang mendalam) di dalam agama, pengetahuan akan sunnah Rasul-Nya dan pemahaman akan kitab-Nya dan diperlihatkan hawa nafsu, bid’ah, kesesatan dan jauhnya manusia dari shirothol mustaqim, jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Apabila ia menghendaki untuk menempuh jalan ini, maka hendaklah ia persiapkan dirinya untuk dicemooh oleh orang-orang bodoh dan ahlul bid’ah, dicela, dihina dan ditahdzir oleh mereka. Sebagaimana pendahulu mereka melakukannya kepada panutan dan imam kita Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Adapun apabila ia menyeru kepada hal ini dan mencemooh apa-apa yang ada pada mereka, maka mereka akan murka dan membuat makar kepadanya..Sehingga dirinya menjadi orang yang :
Asing di dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka
Asing di dalam berpegangteguhnya ia kepada sunnah dikarenakan berpegangnya mereka dengan kebid’ahan
Asing di dalam aqidahnya dikarenakan rusaknya aqidah mereka
Asing di dalam sholatnya dikarenakan rusaknya sholat mereka
Asing di dalam manhajnya dikarenakan sesat dan rusaknya manhaj mereka
Asing di dalam penisbatannya dikarenakan berbedanya penisbatan mereka dengannya
Asing di dalam pergaulannya terhadap mereka dikarenakan ia mempergauli mereka di atas apa yang tidak disenangi hawa nafsu mereka
Kesimpulannya: ia adalah orang yang asing di dalam urusan dunia dan akhiratnya, yang masyarakat tidak ada yang mau menolong dan membantunya.
Karena dirinya adalah :
Seorang yang berilmu di tengah-tengah orang yang bodoh
Penganut sunnah di tengah-tengah pelaku bid’ah
Penyeru kepada Alloh dan Rasul-Nya di tengah-tengah penyeru hawa nafsu dan bid’ah
Penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah dari yang mungkar di tengah-tengah kaum yang menganggap suatu hal yang ma’ruf sebagai kemungkaran dan suatu hal yang mungkar sebagai ma’ruf.”4
Demikianlah ucapan Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu. Ahlus sunnah adalah orang yang asing di zaman ini di tengah-tengah rusaknya manusia, dan banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan realita keadaan ini.
Berikutnya ath-Thalibi berkata “Tetapi langkah seperti ini jika dibicarakan akan segera ‘ditebas’ oleh tahdzir keras yang melarang mereka duduk-duduk dengan ahli bid’ah atau menimba ilmu darinya.”, apakah saudara ath-Thalibi mengingkari ucapan-ucapan para salaf untuk menghindari majelis ahli bid’ah?!! Ataukah ath-Thalibi tidak mempermasalahkan masalah mengambil ilmu baik dari ahli sunnah maupun ahli bid’ah??? Untuk itu saya ingatkan sedikit ucapan para imam ini dan perhatikanlah wahai saudaraku, semoga Alloh memberimu taufiq.
وعن أبي قلابة قال: (( لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تجادلوهم؛ فإني لا آمن أن يغمسوكم في ضلالتهم أو يلبسوا عليكم ما تعرفون ))
Dari Abu Qilabah, beliau berkata : “Janganlah kalian bermajelis dengan ahli ahwa’ dan berdebat dengan mereka. Sesungguhnya aku tidak merasa aman bahwa mereka dapat menjerumuskan kalian ke dalam kesesatan mereka atau mereka akan mengkaburkan masalah yang tidak kalian fahami.”5
وعن هشام بن حسان قال: (( كان الحسن ومحمد بن سيرين يقولان: لا تجالسوا أصحاب الأهواء ولا تجادلوهم ولا تسمعوا منهم ))
Dari Hisyam bin Hasan, beliau berkata : “Al-Hasan (Hasan al-Bahsri) dan Muhammad bin Sirin pernah berkata, ‘Janganlah kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu, janganlah mendebatkan dan jangan pula mendengar darinya’.”6
وقال حنبل بن إسحاق: سمعت أبا عبد الله يقول: (( أهل البدع ما ينبغي لأحد أن يجالسهم ولا يخالطهم ولا يأنس بهم ))
Hanbal bin Ishaq berkata : “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata, ‘Ahli bid’ah, janganlah bagi seseorang bermajlis dengan mereka, jangan bercampur dengan mereka dan jangan pula bermanis-manis dengan mereka.”7
Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan para imam salaf yang serupa, namun saya rasa yang tiga ini mencukupi.
Mungkin saudara ath-Thalibi akan berkata, “saya tidak menganjurkan untuk belajar ke ahli bid’ah, namun yang saya anjurkan adalah belajar tidaklah harus kepada para ulama salafi saja.”
Maka saya jawab, wahai saudaraku -semoga Alloh menganugerahiku dan menganugerahimu taufiq dan ilmu yang bermanfaat-, kita harus kembalikan lagi istilah salafiy itu sendiri. Apabila anda memaksudkan sebagai suatu kelompok tertentu maka anda salah. Karena yang dimaksud dengan salafiy (dengan adanya ya’ nisbah) merupakan penisbatan kepada manhaj salaf, penyandaran diri secara total terhadap cara beragama kaum salaf. Oleh karena itu lawan dari salafiy adalah kholafiy. Dan tentu saja ulama salafiy adalah lebih a’lam (berilmu), ahkam (lebih jelas/terang) dan aslam (lebih selamat). Jadi, apabila kita tidak menimba ilmu dari ulama salafiy lantas kepada siapakah kita akan menimba ilmu???
Ath-Thalibi berkata “Jika memang mereka hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak mencukupkan diri dengan majlis-majlis itu, tetapi juga mau melihat majlis-majlis lain.” Saudaraku, bentuk fanatik kita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dengan penauladan kepada beliau, para sahabatnya dan kepada para as-Salaf ash-Shalih. Oleh karena itu kita hanya membatasi mengambil ilmu hanya dari ulama ahlus sunnah, ulama ahlul hadits, ulama ahlul atsar, ulama salafiy. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Salam sendiri pernah bersabda :
وإياكم ومحدثات الأُمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Dan berhati-hatilah kalian perkara-perkara yang baru di dalam agama, karena setiap perkara yang baru di dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”
Untuk mengimplementasikan kehati-hatian kita dari bid’ah maka kita harus menghindari dan menjauhi ahli bid’ah dan ahli ahwa`.
Mungkin akan ada yang berkata, “berarti anda telah menuduh umat Islam ini seluruhnya adalah ahli bid’ah kecuali salafiy”
Maka saya jawab, tidak benar. Yang saya maksudkan adalah mayoritas umat Islam ini adalah tidak faham dengan sunnah Nabi, mereka asing dengan sunnah Nabi dan telah akrab dengan bid’ah dan segala bentuk kesesatan. Dan ini adalah realita yang tidak dapat dipungkiri. Untuk melabeli seseorang dengan ahli bid’ah ini adalah perkara berat, karena ini masalah vonis spesifik (mu’ayan). Namun menyatakan bahwa mayoritas umat Islam terkungkung oleh bid’ah dan mereka terperangkap dengan amalan ahli bid’ah, maka ini adalah realita, dan ini termasuk vonis muthlaq (umum, tidak spesifik).
Di dalam mensikapi orang-orang yang melakukan kebid’ahan, kita menilainya menjadi dua, yaitu :
  1. Mubtadi’ (ahli bid’ah) yakni para tokoh yang diikuti yang mengada-adakan kebid’ahan di dalam agama, mengajarkannya dan bersikeras mempertahankannya setelah ditegakkan hujjah atasnya.
  2. Muqtada bihi, yaitu mereka yang hanya ikut-ikutan saja, bisa jadi karena kejahilan mereka atau karena ketidakmampuan memilah-milah antara yang hak dan yang batil. Mereka tidak otomatis dikatakan sebagai mubtadi’ (ahlu bid’ah). Dan yang seperti inilah yang mayoritas.
Pembahasan lebih lengkap masalah ini bisa dirujuk di dalam Mukhtashar al-I’tisham oleh Fadhilatusy Syaikh Alwi bin Abdul Qodir as-Seqqaf pasal Fi Lafzhi Ahlil Bida’ wa Ahlil Ahwa’ (buku ini dapat didownload di www.dorar.net). Baca juga pasal sebelumnya tentang pembagian orang-orang yang dinisbatkan kepada bid’ah (Fi Aqsami al-Mansubina ilal Bid’ah).
Sebagai contoh : saya dapat mengatakan bahwa para ziarawan kubur di Masjid Sunan Ampel sebagai quburiyun, padahal quburiyun itu implikasinya tidak lepas dari dua hal, imma dapat jatuh kepada kemusyrikan atau imma dapat jatuh kepada kebid’ahan. Namun saya tidak berani menunjuk seorang tertentu dari mereka dan saya gelari musyrik atau mubtadi’. Karena ini termasuk bab vonis mu’ayan yang butuh persyaratan yang tidak mudah. Demikian pula saya dapat mengatakan bahwa syiah rafidhah adalah kafir, namun saya tidak bisa mengatakan fulan yang ikut pengajian mereka otomatis kafir. Jadi ini adalah masalah yang berbeda. Silakan lihat pembahasan masalah ini di dalam risalah “Hakikat Bid’ah : Tanya Jawab bersama Syaikh al-Albani” di dalam situs saya (http://geocities.com/abu_amman).
Saya minta maaf apabila saya terlalu panjang dan bertele-tele, namun ini semua saya lakukan untuk menghindarkan kesalahfahaman.
Kembali lagi masalah semula, bahwa mengambil ilmu dari ahlinya merupakan suatu keniscayaan. Supaya lebih melengkapi faidah, maka ada baiknya kita baca uraian Syaikh Bakr Abu Zaed nafa’allohu bihi yang dijelaskan lebih lengkap oleh al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullahu.
Syaikh Bakr Abu Zaed berkata :
Wahai para pelajar, ikutilah jejak para ulama salaf para ulama salaf, hati-hatilah jangan sampai para ahli bid’ah mencelakakanmu, karena sesungguhnya mereka banyak membuat jalan-jalan untuk menjegalmu, mereka bungkus semua itu dengan ucapan yang manis seperti madu, padahal sebenarnya ia adalah madu yang pahit dan kucuran ari mata, indah kulit luarnya tipuan dengan khayalan belaka, mempertontonkan karomah, menjilati tangan serta mencium pundak. Tidaklah semua itu kecuali bara perbuatan bid’ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan menjeratmu dalam lingkaran syaithannya. Demi Alloh, tidaklah orang yang buta bisa menuntun dan menunjukkan untuk memimpin orang-orang buta sepertinya.
Adapun kalau belajar kepada ulama ahlis sunnah, maka benar-benar isaplah madu dari mereka, jangan tanyakan lagi, semoga Alloh memberimu taufiq kepada jalan kebenaran, agar engkau mampu meraup warisan para nabi secara murni. Kalau tidak demikian, maka tangisilah agama ini bagi yang masih bisa menangis. Semua yang sebutkan ini adalah pada saat bisa memilih antara belajar dengan ahlis sunnah atau ahli bid’ah. Adapun apabila engkau belajar pada sekolah formal yang tidak ada pilihan lagi bagimu, maka berhati-hatilah serta berlindunglah kepada Alloh dari kejelekannya, jangan karena ini engkau mundur dari belajar, saya takut ini termasuk mundur dari tengah kancah pertempuran. Saat tidak ada kewajiban bagimu kecuali engkau benar-benar selektif menerima ilmunya, lalu engkau jauhi kejelekannya serta membongkar kedoknya.”
Imam Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengomentari ucapan di atas :
Ini sebuah pengecualian yang bagus, terkadang seseorang harus terpaksa belajar kepada ahli bid’ah, semacam kalau belajar kepada sekolah formal, yang mana kadang-kadang yang mengajarkan ilmu bahasa Arab atau lainnya adalah seorang ahli bid’ah. Apa yang harus engkau lakukan kalau memang engkau harus belajar kepadanya?
Kita cuma bisa mengatakan: Ambillah kebaikannya dan tinggalkan kejelekannya. Kalau dia berbicara di hadapan murid-murid mengenai masalah aqidah, maka ajaklah berdialog, kalau engkau mampu berdialog dengannya. Namun kalau tidak, maka sampaikanlah perkataannya kepada orang yang lebih tahu darimu, jangan sampai engkau beradu argumen dengannya padahal engkau tidak bisa mengalahkannya, karena ini akan sangat berbahaya. Bukan hanya bagimu saja, namun juga kepada kebenaran yang engkau bela…”8
Demikianlah dua ulama ahlus sunnah salafiy ini menjelaskan. Maka apakah ini termasuk bagian fanatik hanya kepada guru-guru dan masyaikhnya saja? Apabila anda masih menuduh ini bagian dari fanatik, maka saya hanya bisa mengatakan :
فحسبكم هذا التفاوت بيننا وكل إناء بما فيه ينضح
Cukuplah bagi kalian perbedaan diantara kita
Dan setiap bejana memercikkan isinya
Adapun tuduhan bahwa ada sebagian kalangan salafi dekat dengan masyaikh Markaz Imam al-Albani, dan arah ucapan ini tampaknya ditujukan kepada ustadz saya, Ustadz Abu ‘Auf ‘Abdurrahman at-Tamimi dan rekan-rekan beliau, dan dikatakan bahwa mereka lebih condong kepada masyaikh Markaz Imam al-Albani dibandingkan masyaikh lainnya, seperti yang disebut oleh ath-Thalibi, yaitu Syaikh Rabi’, syaikh Muqbil, Syaikh Muhammad Aman al-Jami dan Syaikh Ahmad Yahya an-Najmi, maka ini adalah suatu pengada-adaan belaka. Apabila ath-Thalibi mau membaca tulisan-tulisan mereka –para asatidzah yang anda tuduh hanya condong ke masyaikh Yordania- baik di buku-buku atau majalah-majalah, niscaya anda akan mendapatkan nukilan-nukilan dari para masyaikh salafiyin lainnya.
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly hafizhahullahu pernah berkata :
« … وأننا بفضل الله نشرنا هذا المنهج في مشارق الأرض وفي مغاربه لا نفرّق بين السلفيّين و لا نفضّل بعضَهم على بعضٍ بل نجمعَ شملهم وندعوا إلى الصلح بينهم وندعوا إلى التوفيق بينهم … »
Dan kami dengan fadilah dari Alloh, menyebarkan manhaj ini di bumi bagian timur dan barat, dan kami tidak memilah-milah di antara salafiyin, kami tidak mengutamakan antara satu dengan lainnya, namun kami persatukan kalimat mereka dan kami ajak mereka kepada perdamaian di antara mereka serta kami seru mereka kepada saling meluruskan di antara mereka…”9
Demikian pula para asatidzah yang dimaksudkan ath-Thalibi lebih condong kepada masyaikh tertentu, bahwasanya mereka tidak memilah-milah diantara ulama salafiyin, mereka tidak fanatik terhadap salah seorang di antara mereka, alhamdulillah. Yang mereka jadikan dasar adalah kesesuaian dengan kebenaran, karena setiap orang dapat diterima dan ditolak ucapannya. Adapun kedekatan belaka, itu tidak menunjukkan arti kefanatikan, sebagaimana banyak pula para ulama salaf antara satu dengan lainnya mereka lebih dekat dengan ulama yang lebih sering mengajarkan ilmu kepada mereka daripada yang hanya mereka dengarkan saja.
Adapun tuduhan bahwa ikhwan salafiyin hanya mencukupkan diri dengan majelis-majelis ustadznya, buku-buku, majalah-majalah dan penerbitan mereka saja, hal ini tidak mutlak benar. Karena ada sebagian kalangan salafiyin yang tidak demikian. Kebenaran dapat diterima dari mana saja, bahkan dari air liur anjing ataupun muliut syaithan. Namun, harus dibedakan antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.
Sebagai contoh, saya pribadi terkadang membaca buku-buku karya Bapak Adian Husaini, Pak Abduh Zulfidar, Pak Abu Deedat dan selain mereka. Karena setiap orang memiliki spesialisasi masing-masing, maka saya tidak mengharamkan diri mengambil faidah dari tulisan Pak Adian Husaini dalam membantah fikrah kafir JIL, pak Abu Deedat dalam masalah kristologi dls. Saya ambil yang berfaidah darinya dan saya buang yang salah darinya.
Adapun ada sebagian kalangan pengaku-ngaku salafi sejati, dan menolak semua yang bukan berasal dari mereka, maka ini adalah salafiyah dakwaan belaka. Syiar mereka adalah “in lam yakun ma’ana fa’alaina” (apabila tidak bersama kami maka musuh kami). Ini adalah jelmaan fikrah Haddadiyah. Mereka tidak bisa membedakan antara menukil dengan mentazkiyah, antara mencari kebenaran dengan menerima kebenaran.
Mereka mengharamkan membaca buku Ustadz Ahmed Deedat rahimahullahu padahal syaikh Ibnu Utsaimin memuji karya dan video debat-nya. Kami beristifadah dengan ilmu beliau rahimahullahu dalam membantah kaum kuffar, akan tetapi kami tidak menerima beberapa pemahaman beliau yang keliru di dalam masalah agama. Mereka berupaya hati-hati, namun mereka terjatuh kepada sikap ghuluw dan ifrath. Apabila mereka ini yang anda maksudkan wahai ath-Thalibi, maka anda tidak salah. Namun apabila anda menggeneralisir maka anda keliru.
Ath-Thalibi : Abu Salma mengomentari pernyataan Halawi Makmun bahwa Salafi sering menukil perkataan Syaikhul Islam, tetapi setelah dicek tidak ada perkataan itu. Abu Salma mengatakan: “Adapun tuduhannya bahwa salafy sering sekali mengatasnamakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, padahal setelah dicek ternyata Ibnu Taimiyah tidak mengatakan sebagaimana demikian keadaannya, maka ini juga tuduhan belaka yang tidak ada buktinya. Mana bukti atas tuduhan ini?!! Apabila ada bukti, maka diskusi dapat berlanjut, apabila tidak ada maka cukup sampai di sini.”
CATATAN: Perkataan Halawi Makmun bahwa Salafi SERING menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal beliau tidak mengatakan seperti yang dinukil. Hal ini perlu dibuktikan secara ilmiah. Siapa di antara Salafi yang berbuat seperti itu? Apakah perbuatan itu sering dilakukan, atau jarang-jarang, atau bahkan tidak pernah sama sekali. Tampaknya, Ustadz Halawi perlu membuktikan kata SERING di atas. Tetapi dalam kasus yang menimpa Syaikh Ali Hasan Al Halabi, memang beliau pernah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah, padahal Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan perkataan itu. Dari buku Tahdzir Fitnatut Takfir, yang disusun Syaikh Ali Hasan, di halaman 17-18, beliau menukil perkataan palsu dari Ibnu Taimiyyah. Beliau juga membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim rahimahumallah dari tempatnya. Hal ini berdasarkan fatwa Lajnah Daimah Saudi, No. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 H. Contoh yang mirip kasus ini ialah buku Syaikh Khalid Al Anbari yang berjudul Al Hukmu bi Ghairi Ma Anzalallah. Lajnah Daimah juga menurunkan fatwa pelarangan terhadap peredaran buku tersebut. Jadi buktinya ada, bukan hanya asal menuduh. Namun kalau diklaim bahwa banyak Salafi yang melakukan perbuatan serupa, khususnya ketika menukil perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah, saya tidak tahu.

Tanggapan : Dalam masalah ini saya tidak akan berpanjang lebar, karena buku saya at-Tahdzir min Fitnatit Takfir dan al-Ajwibah al-Mutalaa`imah sedang ada di Surabaya. Insya Alloh akan saya turunkan bantahan khusus dalam masalah ini. Namun, sebelum itu, saya ingin membuktikan dugaan saya, apakah ath-Thalibi hanya “asnuk” (asal nukil) saja ataukah dia pernah menelaah isi fatwa tersebut dan membandingkan dengan buku asli Syaikh Ali Hasan?
Oleh karena itu saya tantang ath-Thalibi untuk menukilkan :
  1. Isi fatwa al-Lajnah ad-Da’imah no. 21517, tanggal 14 Jumadits Tsani 1421 tersebut secara lengkap dan utuh.
  2. Isi buku yang dirujuk di dalam fatwa tersebut, yakni at-Tahdzir min fitnati Takfir hal. 17-18 yang dikatakan sebagai ucapan palsu dari Syaikhul Islam dan membelokkan perkataan Ibnu Katsir dan Syaikh Muhammad Ibrahim Alu Syaikh serta buku al-Hukmu bighoyri ma anzalalloh karya Syaikh Khalid al-Anbari.
Sebagai amanat ilmiah saya tuntut ath-Thalibi untuk menunjukkan dua hal di atas, baru saya akan memberikan jawaban secara khusus dalam masalah ini.
وإذا لم تر الهلال فسلم لأناس رأوه بالأبصار
Apabila engkau tidak melihat bulan sabit maka serahkanlah
Kepada manusia yang melihatnya dengan mata kepala
Ath-Thalibi : Abu Salma mengatakan: “Dengan demikian, ketika fitnah perpecahan dan perselisihan datang bertubi-tubi, bid’ah dan penyimpangan semakin menyebar, maka adalah suatu hal yang niscaya, menguji manusia dengan kesesuaian mereka terhadap sunnah, dan memilah-milah guru di dalam menuntut ilmu. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahartikan dengan fanatisme terhadap ulama-ulama mereka saja. Inilah sikap salafiyun yang sering disalahpersepsikan dengan menyibukkan diri untuk mencari-cari kesalahan kelompok-kelompok Islam saat ini, padahal mereka hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.”
CATATAN: Dalam buku Al Hatstsu ‘Alat Tib’is Sunnah Wa Tahdziri Minal Bida’i Wa Bayanu Khataraha, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, seperti yang diterjemahkan Abu Salma sendiri, lalu dimuat di situs pribadinya. Disana Syaikh Abdul Muhsin mensinyalir adanya bid’ah baru, yaitu menguji manusia. Jika seseorang “lulus” diuji dengan sekian pertanyaan, maka dia termasuk Ahlus Sunnah; Jika tidak “lulus”, maka posisinya masuk golongan ahli bid’ah. Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam. Jika seandainya perkara pengujian ini benar, siapa yang berhak menguji manusia? Apakah Salafi berhak menguji pihak-pihak di luar Salafi? Jika berhak, apakah Salafi sudah mewakili gambaran pengamalan Sunnah yang sempurna? Jika Salafi merasa paling Sunnah, mana yang seharusnya ditempuh, menguji manusia atau mendakwahi mereka? Jika kelompok-kelompok di luar Salafi memiliki sekian kesalahan, apakah Salafi bersih sama sekali dari kesalahan sehingga layak menjadi “penguji”? Dalam kalimat Antum di atas, jelas ada ketakaburan besar. Seolah yang memegang Sunnah di kalangan Ummat ini hanya kalangan Salafi. Lebih ironinya, jika Salafi mendapat kritik dari luar Salafi, meskipun dikritik berdasarkan Sunnah, para pengeritiknya serta-merta dituduh sebagai anti Sunnah, tidak sepakat dengan manhaj Salaf, dangkal ilmu, tidak bisa berdalil, pendukung Hizbi, pemecah-belah, dll. Mereka boleh bebas mengeritik, tetapi kalau dikritik emosi.
Coba perhatikan penggalan kalimat Abu Salma yang terakhir, “…padahal mereka (Salafi –pen.) hanyalah bermaksud menguji kesesuaian kelompok-kelompok tersebut terhadap as-Sunnah.” Masya Allah, ini adalah tazkiyah (penyucian diri) yang luar biasa. Satu ayat saja dari Al Qur’an sebagai komentarnya: “Dan demikianlah Kami jadikan kalian sebagai Ummat pertengahan (adil dan pilihan), agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Surat Al Baqarah: 143). Disini, yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.”

Tanggapan : Sebelum mengomentari ucapan di atas, saya teringat sebuah syair yang indah :
لو كنت تعلم ما أقول عذرتني أو كنت أعلم ما تقول عذلتكا
لكن جهلت مقالتي فعذلتني وعلمت أنك جاهل فعذرتكا
Seandainya kamu faham ucapanku niscaya kamu akan memaafkanku
Atau aku mengetahui ucapanmu maka aku mengkritikmu
Tetapi engkau tidak faham ucapanku sehingga mencelaku
Dan aku tahu bahwa kamu tidak faham maka aku memaafkanmu
Saudaraku ath-Thalibi, apabila anda membaca dengan seksama tulisan saya di atas dengan apa yang dipaparkan oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad al-Badr hafizhahullahu, niscaya anda akan mengetahui hakikat perbedaannya. Namun sayang, anda tidak memahaminya dan hal ini tertuang dalam ucapan anda sendiri : “Menguji manusia yang dimaksudkan oleh Abu Salma di atas apakah seperti kenyataan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Muhsin itu? Wallahu a’lam
Saya mengatakan di dalam risalah yang anda kritisi dengan menukil ucapan para imam salaf, diantaranya Imam Ibnu Sirin rahimahullahu berkata :
إن هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم
Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah darimana kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Muqoddimah Shahih-nya).
Tatkala bid’ah dan firoq mulai melanda kaum muslimin, dan fitnah terhadap agama kaum muslimin mulai merebak, tatkala itulah pentingnya menguji manusia akan agamanya, sebagaimana ucapan Imam Barbahari rahimahullahu dalam kitab beliau yang sangat berharga, as-Sunnah :
والمحنة في الإسلام بدعة ، وأمّا اليوم فيمتحن بالسنة
Menguji manusia di dalam Islam itu bid’ah, namun hari ini perlu menguji manusia dengan sunnah.”
Ini adalah ucapan Imam Barbahari sendiri. Dan yang dimaksud oleh imam Barbahari adalah menguji manusia dengan sunnah.
Adapun apabila anda membaca risalah al-‘Alamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr rahimahullahu yang berjudul al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wat Tahdziru minal Bida’ wa Bayaanu Khathariha pada halaman 85, anda akan menemukan bab Bid’atu Imtihaani an-Naas bil Asykhosh (bid’ah menguji manusia dengan individu-individu tertentu). Apabila anda juga membaca paparan Syaikh setelahnya, maka akan menjadi jelas bahwa maksud syaikh adalah sebagian ahlus sunnah sekarang ini menyibukkan diri mereka dengan menguji antara satu dengan lainnya dengan individu-individu tertentu, sehingga pengujian ini membuahkan pujian dan sanjungan pada individu yang dipuja dan membuahkan tajrih, tabdi’, hajr dan tahdzir pada individu yang dicela.
Mereka menguji manusia dengan mengatakan, “bagaimana pandangan antum terhadap fulan yang telah ditahdzir syaikh fulan”, apabila ia turut mentahdzir orang itu maka ia adalah sahabatnya dan apabila orang itu membela atau bahkan hanya diam tidak menunjukkan sikap (tawaqquf) maka orang itu akan ditahdzir pula dan dijadikan lawan. Kaidah mereka adalah man lam yakun ma’ana fa’alaina (kalau tidak sepakat dengan kami maka musuh kami) atau man dafa’a saaqith fahuwa saaqith (barangsiapa membela orang yang keliru maka ia keliru). Akhirnya fenomena tahdzir, tabdi’, tajrih dan semacamnya merebak di tengah-tengah ahlus sunnah, dan inilah yang dimaksudkan oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.
Adapun menguji manusia dengan sunnah, adalah menguji mereka akan keselarasannya dengan sunnah, terlebih-lebih di tengah-tengah merebaknya perpecahan dan bid’ah. Menguji manusia dengan sunnah tidak menafikan mendakwahi mereka. Karena menguji manusia dengan sunnah merupakan bagian dari dakwah kepada mereka. Apabila mereka jauh dari sunnah –setelah diuji- maka kewajiban pertama adalah mendakwahi mereka dengan hikmah, kelemahlembutan dan kasih sayang.
Adapun ucapan anda, bahwa apakah salafiyin layak menjadi penguji? Apakah salafiyin merasa yang paling nyunnah? Apakah salafiyin bersih dari segala kesalahan? Maka saya jawab : apabila yang dimaksud adalah salafiyin sebagai pengikut manhaj salaf yang senantiasa berupaya meniti manhaj salaf dengan segala daya upaya, maka insya Alloh iya. Mereka adalah orang yang paling dekat dengan sunnah dan yang menghidupkan sunnah –sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qoyyim sebelumnya- di antara rusaknya manusia. Apakah mereka bersih dari kesalahan? tentu saja tidak, yang bersih dari kesalahan hanyalah para nabi dan rasul. Namun kesalahan mereka lebih sedikit apabila dibandingkan oleh selain mereka. Akan tetapi, apabila yang anda maksudkan adalah sebagian oknum yang hanya ngaku-ngaku saja menjadi salafi? Tentu saja mereka tidak layak.
Ingat, jangan difahami ini artinya saya mentazkiyah diri saya sendiri, apalagi sampai anda katakan takabbur –sebagaimana anda lakukan pada tulisan-tulisan anda terdahulu-. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy? Maka saya jawab, insya Alloh, saya berupaya menjadi seorang salafiy. Apabila anda tanyakan apakah saya salafiy sejati? Maka saya katakan, subhanallohu, masih jauh diri saya dari kesempurnaan sebagai salafi sejati, namun saya berupaya untuk bisa menjadi salafiy sejati. Apabila anda tanyakan kepada saya, apakah selain diri saya adalah bukan salafi atau salafi palsu? Maka saya jawab, ma’adzalloh, saya tidak pernah mengatakan demikian.
Ucapan anda benar bahwa “yang berhak memegang amanah menguji Ummat Islam adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun setelah beliau wafat, amanah itu dipegang oleh para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi). Ulama tersebut bisa darimana saja, tidak harus dari Yordan, Yaman, atau Saudi. Siapa saja yang paling kuat hujjah-nya menurut Kitabullah dan Sunnah shahihah, dia lebih layak diikuti. Demikianlah karakter Al Jamaah seperti yang disifati oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebagai: “Bersepakat atas kebenaran meskipun engkau seorang diri, maka engkau adalah Al Jamaah ketika itu.” Karena daerah atau negeri tidaklah menjamin lurusnya aqidah, manhaj dan pemahaman seorang ulama. Selama mereka memegang ushul Islam yang lurus sebagaimana yang difahami oleh ulama salaf, maka mereka adalah ulama Islam pewaris para nabi. Bukan ulama shufi, bukan pula ulama Asy’ari Maturidi, mereka bukan ulama yang berpemahaman mufawwidhah dan bukan pula jahmiy. Mereka bukan ulama yang menyeru kepada persatuan kelompok sesat di dalam Islam dan bukan pula ulama yang menyeru untuk menerapkan sistem kufur. Mereka adalah ulama Robbani pewaris para nabi.
Wahai saudaraku ath-Thalibi, telaahlah dengan mendalam sebelum mengambil kesimpulan, karena tidaklah yang anda tangkap adalah sebagaimana yang ditangkap oleh orang lain. Janganlah engkau bagaikan sebuah syair berikut ini :
تكاثرت الظياء على خراش فما يدري خراش ما يصيد
Kijang itu begitu banyak di hadapan Khirasy (sebangsa serigala)
Sehingga dia tidak tahu mana yang harus diburu terlebih dahulu
Sungguh melihat paparan saudara ath-Thalibi di dalam mengomentari risalah saya bagaikan sebuah syair :
سارت مشرقة وسرت مغربا شتان بين مشرق ومغرب
Dia berjalan ke timur dan aku berjalan ke barat
Aduhai alangkah jauhnya timur dan barat
(Insya Alloh bersambung)
1 Lihat Syarh Kitab Hilyatu Tholibil ‘Ilmi oleh Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullahu, tahqiq : Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdil Wahhab, Maktabah Darul Bashirah, Iskandaria, hal. 105. Lihat pula terjemahnya yang berjudul “Syarah Adab & Manfaat Menuntut Ilmu” oleh ustadz saya Ahmad Sabiq, Lc., cet. I, Jumadil Akhir 1426, Pustaka Imam Syafi’I, hal. 121.
2 Lihat Hilyah, op.cit., hal. 108 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 122.
3 Lihat Hilyah, op.cit., hal. 110 dan “Syarah Adab”, op.cit., hal. 124.
4 Dinukil melalui perantaraan Mansyuraat (selebaran) Markaz Imam Al-Albani no. 3, Robi’ul Awwal, 1422 H., yang berjudul Nubdzatu Ilmiyyah fit Ta’awun asy-Syar’iy wat Tahdzir minal Hizbiyah. Lihat pula artikel terjemahannya “Antara Ta’awun Syar’iy dan Hizbiy” di Majalah adz-Dzakhiirah, edisi 24, th. V, Dzulqo’dah, 1427 H., hal. 22-23.
5 Sunan ad-Darimi (I/120), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/134), As-Sunnah karya Imam Abdullah bin Ahmad (I/137) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/435). Dinukil melalui perantaraan Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdziri min Ahlil Ahwa` karya Khalid bin Dlohawi azh-Zhafiri, download dari Maktabah Sahab as-Salafiyah: www.sahab.org.
6 Thobaqot Ibnu Sa’ad (VII/172), Sunan ad-Darimi (I/121), Syarhus Sunnah karya Imam al-Lalikai (I/133) dan al-Ibanah karya Imam Ibnu Baththah (II/444). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.
7 Al-Ibanah (II/475). Melalui perantaraan Ijma’ul Ulama, op.cit.
8 Lihat al-Hilyah, op.cit. hal. 114-115, lihat pula “Syarah Adab”, op.cit. hal. 131-132.
9 Ceramah Syaikh Salim al-Hilali yang disampaikan pada saat penutupan Dauroh fi Masa`ilil Aqodiyah wal Manhajiyah di Masjid Al-Irsyad, tahun 2001 silam. Dauroh ini dilaksanakan atas kerjasama Ma’had ‘Ali Al-Irsyad as-Salafi bekerjasama dengan Markaz al-Imam al-Albani Yordania (Menit ke-13:29-13-50).


from → Bantahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar