Jumat, 11 Maret 2011

Fitnah Sururiyyah

http://abunamira.wordpress.com/2010/10/28/fitnah-sururiyyah/

Fitnah Sururiyyah

Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum, ustadz ana masih bingung tentang permasalahan yang
katanya semenjak Syaikh bin baz dan Syaikh albani rohimahumullah tidak
ada, surur merajalela di madinah dan menggerogoti salafiyyun di
madinah sampai2 ana bingung untuk ikut kajian yang mengatakan bahwa
al-sofwa surur, ustad yazid surur, ustadz hakim surur, dan lain-lain,
yang benar gmn ustadz?

Dijawab Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim
Permasalahan yang antum sampaikan ini –yang ana yakin antum nukil dari
orang lain, oleh karena itu jawaban ini ana tujukan kepada sumber
berita antum, maka harap jangan tersinggung jika ada kata-kata ana
yang kurang berkenan–, jawabannya perlu diperinci karena padanya ada
keterangan yang benar dan ada yang salah. Bahwa pemahaman sururiyyah
telah berkembang di Madinah, bahkan seluruh wilayah Arab Saudi
–apalagi di luar Arab Saudi– memang benar, tapi kalau dikatakan sampai
merajalela dan menggerogoti salafiyyun di Madinah, maka ini adalah
berita yang tidak benar, bahkan berita ini mengandung pelecehan dan
penghinaan kepada para Masyaikh Ahlusunnah yang ada di Madinah,
seperti Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad, `Ali Nashir al Faqihi, Shaleh
as Suhaimi, Muhammad bin Hadi, Ibrahim ar Ruhaili, `Abdurrazzak,
`Abdul Malik Ramadhani dan lain-lain –semoga Allah ta’ala menjaga
mereka semua–, apakah para Masyaikh di atas tidak mampu membimbing dan
menjelaskan manhaj yang benar kepada para Salafiyin di Madinah
sehingga mereka begitu mudah digerogoti pemahaman bid’ah ini? Atau
mungkin ada yang mengatakan bahwa para Masyaikh tersebut kurang paham
dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan manhaj (Manhaj
Ahlusunnah dalam menyikapi bid’ah dan ahli bid’ah)? Demi Allah, Ini
adalah kedustaan yang besar dan nyata! Apakah mungkin mereka
digolongkan sebagai Masyaikh Salafiyin kalau terhadap masalah yang
besar dan penting ini (masalah manhaj) mereka tidak paham?
Kalau memang demikian, apa gunanya mereka disebut sebagai Masyaikh
salafiyyin? Syaikh Rabi’ bin Hadi –semoga Allah ta’ala menjaga beliau–
pernah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa para Masyaikh
Salafiyin ada di antara mereka yang kurang paham masalah manhaj, maka
beliau menjawab bahwa ucapan ini sama seperti ucapan orang-orang
Sururiyyin yang mengatakan bahwa para ulama Ahlusunnah tidak paham
terhadap masalah Fiqhul Waqi’ (pemahaman terhadap realita dan kondisi
yang terjadi pada umat islam), artinya mereka hanya sibuk membahas
masalah-masalah akidah, ibadah dan muamalah tapi tidak paham dan
kurang perhatian terhadap realita dan kondisi yang terjadi pada umat
islam. Rekaman kaset jawaban beliau ini ada pada ana. Jawaban yang
beliau sampaikan ini sangat tepat dan sesuai sekali, karena
sebagaimana orang-orang Sururiyyin dengan mengatakan bahwa para ulama
Ahlusunnah tidak paham Fiqhul Waqi’, dan yang memahaminya dengan baik
hanyalah ulama-ulama(?) mereka sendiri, dengan tujuan untuk menggiring
kaum muslimin –utamanya para pemuda – agar hanya mengambil pemahaman
agama dari tokoh-tokoh mereka itu dan memalingkan mereka dari para
ulama yang sesungguhnya, demikian pula orang-orang yang mengatakan
bahwa di antara para ulama Ahlusunnah ada yang kurang paham masalah
manhaj, tujuan mereka adalah menggiring para pemuda Salafiyin agar
hanya mengikuti pemahaman dan sikap keras mereka, setelah mereka
menyadari bahwa ternyata pemahaman dan sikap mereka itu sangat jauh
bertentangan dengan pemahaman dan sikap para ulama Ahlusunnah, apalagi
para ulama kibar (senior) di antara mereka (silahkan baca tulisan ana
yang dimuat dalam website ini, pada artikel “Menjawab Tudingan
Terhadap Dakwah Salafiyyah”).
Yang lebih aneh dan mengherankan lagi, pemahaman dan sikap mereka yang
nyeleneh itu mereka nisbatkan kepada dua Imam besar Ahlusunnah, yaitu
Syaikh `Abdul `Aziz bin Baz dan Syaikh al Albani –semoga Allah ta’ala
merahmati keduanya–, padahal pemahaman dan sikap kedua Imam ini
–demikian pula para ulama senior lainnya, seperti Syaikh Muhammad bin
Shaleh al `Utsaimin dan lain-lain– sangat berseberangan dengan
pemahaman dan sikap mereka dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan
oleh salah seorang murid senior Syaikh bin Baz yang masih hidup sampai
saat ini dan tinggal di Madinah, Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad
–semoga Allah ta’ala menjaga dan memanjangkan umur beliau–, dalam
kitab beliau “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah”. Sebagai bukti apa
yang ana sampaikan ini, coba kita amati dengan seksama pemahaman dan
sikap murid-murid senior dua Imam besar ini, karena bagaimanapun kita
semua sepakat bahwa yang paling tahu tentang pemahaman dan sikap dua
Imam ini –setelah Allah ta’ala- adalah murid-murid senior mereka jika
dibandingkan dengan orang lain. Coba antum perhatikan pemahaman dan
sikap murid-murid Syaikh bin Baz, seperti Syaikh `Abdul Muhsin yang
ana sebutkan di atas, baca kitab beliau “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis
Sunnah” (yang sudah diterjemahkan), antum akan dapati perbedaan yang
sangat jauh antara sikap dan pemahaman beliau dengan sikap dan
pemahaman mereka.
Contoh lain, pemahaman dan sikap salah seorang ulama besar di Saudi
saat ini, yaitu Syaikh Shaleh al Fauzan –semoga Allah ta’ala menjaga
beliau–, selama sekitar 7 tahun ana berada di Madinah, yang ana ingat
paling tidak sekitar 5 kali beliau berkunjung ke Madinah dan
menyampaikan ceramah umum, 3 kali di antaranya beliau sampaikan di
kampus Universitas Islam Madinah, dan –alhamdulillah– semuanya ana
hadiri. Dalam semua ceramah yang beliau sampaikan itu tidak sekalipun
beliau menyampaikan berita seperti yang antum sampaikan di atas, yang
beliau sampaikan adalah pujian terhadap Universitas Islam Madinah,
anjuran untuk selalu merujuk kepada para ulama Ahlusunnah di Madinah
dan Saudi secara umum, pentingnya aqidah dan dakwah di atas Al Quran
dan As Sunnah menurut pemahaman salaf. Apakah Syaikh Shaleh al Fauzan
tidak mengetahui bahwa ikhwan salafiyun di Madinah telah digerogoti
pemahaman sururiyyah –kalau memang berita tersebut betul– sehingga
beliau tidak merasa perlu untuk mengingatkan hal ini secara
terang-terangan meskipun cuma sekali saja? Atau apakah Syaikh Shaleh
al Fauzan kurang paham dan kurang perhatian terhadap masalah manhaj
sehingga beliau tidak menyampaikan hal ini?
Kemudian coba perhatikan pemahaman dan sikap murid-murid senior Syaikh
al Albani dalam masalah ini, seperti Syaikh Ali Hasan, Salim al
Hilali, Masyhur Hasan Salman, Muhammad Musa Nashr dan lain-lain, yang
–alhamdulillah– mereka ini sering berkunjung ke Indonesia sehingga
kita bisa mengamati langsung sikap mereka dalam masalah ini, dan
ternyata kita dapati sikap mereka pun sama dengan sikap para ulama
yang ana sebutkan di atas, kalau antum kurang yakin, antum bisa
tanyakan langsung hal ini kepada mereka sewaktu mereka berkunjung ke
Indonesia.
Bukti lain, kitab-kitab, tulisan dan kaset-kaset ceramah dua imam
besar ini sampai saat ini –alhamdulillah – mudah kita dapatkan, tapi
tidak kita dapatkan satu keterangan pun dari dua Imam ini yang
mendukung pemahaman dan sikap mereka tersebut, yang ada malah justru
sebaliknya, keterangan yang menunjukkan menyimpangnya pemahaman dan
sikap mereka dari manhaj Ahlusunnah dalam masalah ini.
Juga ingin ana sampaikan di sini, bahwa munculnya pemahaman sururiyyah
sejak dulu telah diingatkan bahayanya oleh para ulama Ahlusunnah,
sekaligus mereka menjelaskan ciri-ciri pemahaman sesat ini, yang di
antaranya adalah, mudah mengkafirkan pemerintah, melecehkan para ulama
Ahlusunnah, memuji dan mengagungkan ahlul bid’ah yang telah jelas
bukti kebid’ahannya dan lain-lain. Sekarang coba antum perhatikan
siapakah di antara ustad-ustad Salafiyin yang kita kenal dakwah mereka
di atas manhaj salaf, seperti ustad Abdul Hakim Abdat, Yazid Jawwas,
Aunur Rafiq Gufran, Abdurrahman at Tamimi, Ahmas Faiz, ustad-ustad di
pondok Jamilurrahman, pondok Imam Bukhari dan lain-lain –yang kemudian
mereka tuduh sebagai sururiyyin– yang memiliki ciri-ciri tersebut di
atas? Kalau kemudian mereka berdalil dengan hubungan beberapa ustadz
di atas dengan beberapa yayasan dana yang dinilai oleh sebagian dari
para ulama sebagai yayasan yang menyimpang manhajnya –dan inilah
satu-satunya dalil yang mereka miliki–, maka kita jawab, bahwa para
ulama Ahlusunnah sendiri berbeda pendapat dalam masalah boleh/tidaknya
berhubungan dan mengambil bantuan dari yayasan-yayasan tersebut,
karena dana yang dimiliki yayasan-yayasan tersebut bukan berasal dari
para pengurusnya, akan tetapi dari kaum muslimin yang benar-benar
ingin menyumbangkan harta yang mereka miliki kepada orang-orang yang
berhak menerimanya, maka tidak ada hubungannya antara bantuan harta
tersebut dengan penyimpangan manhaj yang ada yayasan-yayasan tersebut
selama bantuan tersebut tidak mengikat dengan syarat-syarat yang
membawa kepada penyimpangan manhaj.
Di antara ulama Ahlusunnah yang melarang keras mengambil bantuan ini
adalah Syaikh Rabi’ bin Hadi, Muhammad bin Hadi dan lain-lain,
sedangkan ulama Ahlusunnah yang membolehkannya di antaranya Syaikh
`Abdul Muhsin, `Abdurrazzak, Muhammad bin `Abdul Wahhab al `Aqil dan
lain-lain, bahkan Syaikh `Abdul Muhsin ketika ditanya tentang masalah
ini, beliau tidak hanya membolehkan bahkan memuji salah satu dari
yayasan-yayasan tersebut (yayasan Ihyaut Turats) dengan mengatakan
bahwa yayasan tersebut memiliki banyak kebaikan dan manfaat terhadap
kaum muslimin, seperti menyumbangkan dana untuk pembangunan
masjid-masjid, sekolah-sekolah agama, tunjangan untuk anak yatim, para
dai dan lain-lain, bahkan beliau menegaskan bahwa perpecahan yang
terjadi karena mempermasalahkan hubungan dengan yayasan ini adalah
termasuk perbuatan setan! Bolehnya mengambil bantuan ini, bahkan
rekomendasi terhadap yayasan-yayasan tersebut juga dinisbatkan kepada
banyak ulama senior di Saudi seperti Syaikh bin Baz, Muhammad al
`Utsaimin, `Abdul `Aziz Alu asy Syaikh (mufti kerajaan Arab Saudi saat
ini), Shaleh Alu asy Syaikh dan lain-lain.
Juga yang perlu ana ingatkan di sini, dan hendaknya ini menjadi
renungan untuk kita semua, bahwa para ulama Ahlusunnah yang berselisih
pendapat dalam masalah ini, tidak kita dapati salah seorang pun di
antara mereka yang lantas menuding ulama yang lainnya sebagai hizbi
atau sururi karena memuji dan membolehkan hubungan dengan
yayasan-yayasan tersebut! Sebagai contoh, sewaktu kami mengunjungi
Syaikh Rabi’ bin Hadi, ketika beliau sedang sakit dan berada di rumah
putra beliau di Madinah, pada waktu itu beliau menunjukkan sikap yang
sangat menghormati Syaikh `Abdul Muhsin yang jelas-jelas berbeda
pendapat dengan beliau dalam masalah ini, bahkan Syaikh `Abdul Muhsin
menyampaikan ketidaksetujuan beliau terhadap sikap-sikap Syaikh Rabi’
dalam beberapa masalah termasuk masalah ini secara terang-terangan
-dengan tetap memuji Syaikh Rabi’- pada pengajian rutin Syaikh `Abdul
Muhsin di Masjid Nabawi, dan berita ini telah sampai kepada Syaikh
Rabi’, pada waktu itu Syaikh Rabi’ bahkan sempat juga memuji Syaikh
`Abdul Muhsin –dan ini ana dengar langsung– dengan mengatakan, “Beliau
(yaitu Syaikh `Abdul Muhsin) adalah termasuk Masyaikh (guru-guru) kami”.
Contoh lain, waktu kami berkunjung ke kediaman Syaikh Muhammad bin
Hadi di Madinah, pada waktu kami sampaikan kepada beliau masalah ini
dan beliau sangat keras melarang mengambil bantuan dari
yayasan-yayasan tersebut, bahkan beliau mengatakan bahwa Syaikh
`Abdurrazzak –yang membolehkan mengambil bantuan dari yayasan-yayasan
tersebut– dalam masalah ini salah dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki! Akan tetapi dalam pertemuan itu sendiri beliau mengatakan –dan
ini juga ana dengar langsung–, “Syaikh `Abdurazzak adalah saudaraku
(sesama Ahlusunnah)”, dan beliau juga mengatakan, “Saya dan Syaikh
`Abdurrazzak adalah seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu”.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Syaikh `Ubaid al Jabiri dalam
masalah ini, sebagaimana yang diberitakan oleh Syaikh Muhammad al
`Aqil kepada salah seorang teman kami di Madinah.
Perhatikanlah sikap para ulama di atas! Bagaimana bijaksananya mereka
dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka, memang terkadang
mereka bersikap keras dalam menilai suatu pendapat, akan tetapi hal
itu tidak menjadikan mereka saling menuding satu sama lain sebagai
hizbi atau sururi! Coba antum bandingkan sikap ini dengan sikap
sebagian Ikhwan salafiyyin di Indonesia yang begitu mudah mengeluarkan
orang dari manhaj Ahlusunnah dalam masalah-masalah seperti ini, kalau
bukan sikap para ulama di atas yang kita teladani, lantas sikap siapa
lagi? Dan perlu ana tegaskan di sini bahwa ana sendiri dan kebanyakan
teman-teman senior yang kuliah di Universitas Islam Madinah lebih
memilih pendapat yang mengatakan bahwa lebih baik tidak menerima
bantuan dari yayasan-yayasan tersebut, akan tetapi hal ini tidak
menjadikan kami kemudian menuding semua orang yang mengambil bantuan
tersebut sebagai hizbi atau sururi.
Di sini juga ana ingin menyebutkan satu contoh nyata bahwa seorang
yang telah kita kenal manhajnya benar dalam memahami dan mengamalkan
agama ini secara umum, maka tidak mudah untuk kita hukumi dia keluar
dari manhaj ini meskipun dia memiliki kesalahan-kesalahan dan
melakukan perbuatan-perbuatan ahlu bid’ah –karena kelalaian dan bukan
karena sengaja–,kecuali dengan bukti-bukti yang jelas dan
syarat-syarat tertentu, itu pun setelah kita berusaha menasihatinya
dengan baik dan kita yakini –atau paling tidak kita memiliki dugaan
kuat– bahwa hujjah (argumentasi) yang membuktikan kesalahannya telah
tegak dan jelas di hadapannya, tapi dia tetap menolaknya.
Kejadian sekitar 6 tahun yang lalu, ketika sekelompok besar dari
ikhwan kita Salafiyin, mencetuskan wajibnya berjihad di Maluku melawan
orang-orang kafir di sana –berdasarkan fatwa dari beberapa ulama
Ahlusunnah-, yang kemudian kegiatan mereka ini berlangsung dalam waktu
yang cukup lama. Yang jadi masalah di sini, selama kegiatan mereka ini
berlangsung, kita dapati banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang
mereka lakukan, yang di antaranya ada yang jelas-jelas menyelisihi
manhaj Ahlusunnah, bahkan bisa dikatakan mirip dengan beberapa ciri
pemahaman sururiyyah yang ana sebutkan di atas, misalnya pelecehan dan
penghinaan terhadap para ulama Ahlusunnah –dan ini adalah penyimpangan
terbesar yang ada pada mereka pada waktu itu, menurut pandangan ana,
dan sampai saat ini ana belum dengar berita bahwa mereka telah
bertobat dalam masalah ini–, yaitu ketika mereka ingin membantah fatwa
para ulama yang mengatakan tidak wajibnya jihad di Maluku (bahkan
Syaikh Muhammad al `Utsaimin dan Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad
mengatakan bahwa jihad di Maluku tidak disyariatkan, karena pemerintah
Indonesia pada waktu itu menentang kegiatan tersebut dan kita tidak
boleh menentang pemerintah), ada ustadz dari kalangan mereka yang
mengatakan, “fatwa tersebut adalah fatwa yang zalim”. Ada juga yang
mengatakan, “para ulama di Madinah telah dipengaruhi oleh orang-orang
yang tidak suka adanya jihad di Maluku, sehingga mereka tidak
memfatwakan wajibnya jihad di sana”. Dan sebagai akibatnya, ana dan
ikhwan Salafiyin yang kuliah di Madinah merasakan bahwa pada waktu itu
kepercayaan mereka kepada para ulama di Madinah yang tidak mendukung
kegiatan mereka ini bisa dikatakan sangat berkurang atau mungkin
hilang sama sekali. Ada juga ustadz besar lainnya ketika ana sampaikan
padanya fatwa dua Syaikh di atas, dengan ringannya dia menjawab, “Para
ulama tersebut tidak mengetahui keadaan di Indonesia, kalau mereka
mengetahuinya pasti mereka akan memfatwakan wajibnya jihad!”. Bahkan
ketika fatwa Syaikh Muhammad al `Utsaimin tersebut sampai kepadanya,
ustadz ini langsung menyembunyikan fatwa tersebut agar tidak diketahui
oleh ikhwan salafiyyin lainnya, dengan tujuan agar semua orang
menyangka bahwa semua ulama Ahlusunnah sepakat memfatwakan wajibnya
jihad di Maluku! Dan ucapan-ucapan di atas didengar dan diketahui oleh
banyak ustad-ustadz salafiyyin yang bergabung bersama mereka pada
waktu itu, akan tetapi tidak kita dapati seorang pun di antara mereka
yang mengingkarinya, bahkan sangat terkesan pada waktu itu bahwa
mereka semua menyetujui ucapan- ucapan tersebut di atas!
Dalam hal ini ana bukannya ingin membahas pendapat mana yang lebih
kuat dalam masalah wajib/tidaknya jihad di Maluku pada waktu itu, akan
tetapi yang patut dipertanyakan adalah: mengapa mereka begitu mudah
mengucapkan kata-kata keji tersebut dan ditujukan kepada para ulama
Ahlusunnah hanya karena para ulama tersebut tidak mendukung kegiatan
mereka? Apa bedanya ucapan mereka itu dengan ucapan orang-orang
sururiyyin yang mengatakan bahwa para ulama Ahlusunnah hanya memahami
masalah-masalah yang berhubungan dengan haidh dan nifas, tapi mereka
tidak memahami dan kurang perhatian terhadap Fiqhul Waqi’? Kalau
tindakan-tindakan tersebut di atas tidak dianggap sebagai pelecehan
dan penghinaan, lantas tindakan bagaimana lagi yang dinilai sebagai
pelecehan dan penghinaan?
Kemudian penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang ana sebutkan secara
ringkas saja karena khawatir jawaban ini terlalu panjang: kegiatan
demonstrasi dan tindakan-tindakan brutal yang mereka lakukan di
Jakarta, Solo, Ngawi dan lain-lain, dengan alasan memberantas
perbuatan maksiat, yang ini sangat bertentangan dengan manhaj salaf
dan bimbingan para ulama Ahlusunnah. Demikian juga ancaman dan
penganiayaan terhadap beberapa orang dai dan ikhwan Salafiyin, serta
upaya untuk menghancurkan bangunan yayasan yang dinilai menentang
kegiatan mereka, seperti yang terjadi di Madiun, Surabaya dan lainnya.
Dan masih banyak penyimpangan-penyimpanganlainnya yang terlalu panjang
untuk dirinci satu persatu.
Yang ingin ana sampaikan di sini, bahwa meskipun kita dapati
ikhwan-ikhwan kita tersebut banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan
yang di antaranya menyangkut masalah manhaj selama kegiatan jihad
mereka berlangsung, tapi ana dan ikhwan Salafiyin yang ada di Madinah
–dan ana dapati banyak di Indonesia yang juga bersikap seperti ini–,
tidak ada seorang pun di antara kami yang kemudian menuding dan mencap
mereka –baik itu orang perorangan ataupun kelompok mereka secara
keseluruhan– sebagai hizbi atau sururi atau ikhwani, karena mungkin
saja mereka lalai dan lupa, atau terlalu berambisi dan menuruti hawa
nafsu, apalagi pada waktu itu mungkin nasihat belum sampai kepada
mereka dan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Padahal kalau kita
bandingkan mereka yang ana sebutkan di atas dengan kesalahan
ustadz-ustadz Salafiyin yang mereka tuduh sebagai hizbi atau sururi
–kalau kita anggap kesalahan-kesalahan tersebut ada dan terbukti–,
maka jelas kesalahan ustadz-ustadz tersebut tidak artinya dibandingkan
dengan kesalahan-kesalahan mereka, maukah mereka merenungkan kenyataan
ini?
Kemudian ana rasa perlu untuk menyampaikan dalam jawaban ini
rekomendasi dari beberapa ulama Ahlusunnah terhadap Universitas Islam
Madinah, karena sebagai akibat dari permasalahan yang antum sebutkan
di atas banyak kalangan yang kemudian menuding Universitas ini sebagai
sarangnya orang-orang hizbi, sehingga lebih baik belajar di tempat
lain dari pada di Universitas ini, juga tudingan bahwa mayoritas
ikhwan Salafiyin yang sedang belajar di Universitas ini tidak paham
masalah manhaj dan banyak terpengaruh dengan manhaj para Masyaikh yang
mengajar di sana yang –kata mereka–mayoritas orang-orang hizbi/sururi,
meskipun kami tidak mengingkari keberadaan orang-orang sururi bahkan
beberapa di antaranya tokoh-tokoh mereka yang mengajar di sana.
Yang pertama ana nukilkan rekomendasi dari Syaikh Rabi’ bin Hadi,
karena rekomendasi ini ada pada ceramah beliau yang kemudian dibukukan
dan disebarkan oleh markas Imam al Albani, yang berjudul “Al hatstsu
`alal mawaddati wal i’tilaf wattahdziiru minal furqati wal ikhtilaf”
(anjuran untuk saling mencintai dan bersatu serta peringatan untuk
menjauhi perselisihan dan perpecahan), buku ini dicetak sekitar 2
tahun yang lalu (1420 H/ 2004 M). Pada hal. 8-9 beliau mengatakan –dan
di sini langsung ana terjemahkan–, “Universitas islam (Madinah) ini
–dengan para pendiri dan pengurusnya – telah memahami realita dan
kondisi yang di alami kaum muslimin di dunia islam saat ini, yaitu
ketidakpahaman dan jauhnya mereka –kecuali sedikit sekali – dari jalan
Allah I yang benar. Maka Universitas ini benar- benar telah dibangun
di atas manhaj islam yang benar, yang besumber dari kitab Allah dan
sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, dan sekitar 4/5 dari
mahasiswa yang diterima (untuk belajar) di kampus ini khusus
diperuntukkan bagi anak- anak kaum muslimin di seluruh dunia islam,
sedangkan yang 20% lagi diperuntukkan bagi anak- anak kaum muslimin
dari negari dua tanah suci (Arab saudi), agar nantinya mereka yang
datang ke kota tempat turunnya wahyu ini (Madinah) dan menimba ilmu
dari sumber- sumbernya yang jernih di sana, kembali ke negeri-negeri
mereka untuk menyebarkan dan mendakwahkan kebenaran, kebaikan dan
petunjuk yang telah mereka pelajari, (sebagaimana firman Allah dalam
QS at Taubah: 122),
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Maka ini adalah kesempatan emas bagi kalian (wahai para penuntut ilmu
di Universitas ini), maka manfaatkanlah (sebaik-baiknya), dan
hadapkanlah dirimu (dengan sungguh-sungguh) untuk menimba ilmu yang
bermanfaat, yang suci dan murni serta bersumber dari kitab Allah dan
sunnah Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam, karena sumber-sumber
rujukan ilmu ini –alhamdulillah– terpenuhi dengan lengkap di hadapan
kalian, di kota Madinah ini (secara umum) dan di kampus ini (secara
khusus). Dan barang siapa yang menginginkan kebenaran dan kebaikan
untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan negerinya, maka
hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu dari para ulama
(Ahlusunnah) yang ada (di kampus dan kota Madinah ini), yang para
ulama tersebut telah menyerahkan jiwa dan raga mereka untuk
mengajarkan dan menyebarluaskan kebenaran ini –semoga Allah ta’ala
melimpahkan keberkahan dari-Nya kepada kalian semua–, …dst ucapan
beliau dalam ceramah tersebut.
Rekomendasi serupa juga disampaikan oleh salah seorang ulama senior di
Madinah, yaitu Syaikh `Ali Nashir Faqihi, dalam ceramah beliau –yang
rekamannya ada pada kami– di hadapan mahasiswa Salafiyin Universitas
Islam Madinah, yang ceramah ini juga dihadiri oleh beberapa Masyaikh
Salafiyin seperti Syaikh Muhammad bin Hadi dan lain-lain, setelah
Syaikh Muhammad bin Hadi menyampaikan semacam kata sambutan, kemudian
beliau mempersilahkan Syaikh `Ali Nashir untuk berbicara. Dalam
ceramah tersebut Syaikh `Ali Nashir mengatakan bahwa Universitas ini
bertujuan untuk mengajak manusia ke jalan Allah, dan berlandaskan Al
Quran dan sunnah Rasulullah dengan pemahaman salaf dalam aqidah,
ibadah dan muamalah.
Dan masih banyak rekomendasi lain yang semakna dengan 2 rekomendasi di
atas, yang kami dengar langsung dan berkali-kali dari para ulama
Ahlusunnah, seperti Syaikh : Shaleh al Fauzan, `Abdul `Aziz alu asy
Syaikh , `Abdul Muhsin al `Abbad dan lain-lain. Bahkan rekomendasi ini
terlihat nyata dari sikap dan perbuatan para Masyaikh Salafiyin di
Madinah dengan mereka sampai saat ini tetap mengajar di Universitas
ini, seperti Syaikh `Abdul Muhsin al `Abbad, Shaleh as Suhaimi,
Muhammad bin Hadi, Ibrahim ar Ruhaili, `Abdurrazzak, Tarhib ad
Dausari, Muhammad al `Aqil dan lain-lain, yang kalau seandainya
Universitas ini benar-benar sarangnya hizbiyyin, maka mestinya mereka
tidak mau mengajar di sana.
Tujuan ana menyampaikan rekomendasi di atas, sama sekali bukan untuk
memuji diri ana dan teman-teman Salafiyin yang kuliah di Universitas
Islam Madinah, tapi semata-mata untuk menjelaskan kenyataan yang
sebenarnya, yang ini banyak dikaburkan oleh sebagian kalangan, dengan
mengatasnamakan pembelaan terhadap manhaj (baca: manhaj mereka
sendiri), karena ana dapati banyak sekali ikhwan Salafiyin yang tidak
memahami hal ini. Dan lebih dari pada itu, tujuan ana adalah untuk
menjaga dan membela nama baik para ulama Ahlusunnah di Madinah dan
Arab Saudi pada khususnya, maupun di luar Arab Saudi pada umumnya.
Terakhir, tentang yayasan Al Sofwah, terus terang ana tidak begitu
banyak tahu tentang yayasan ini, dan berita-berita yang sampai kepada
ana tentang yayasan ini sangat simpang siur dan sampai saat ini ana
belum sempat mencari kejelasan tentangnya, maka saran ana, sebaiknya
antum tanyakan langsung hal ini kepada ustadz-ustadz yang terpercaya
dan tahu persis keadaan yayasan ini, Wallahu a’lam.
Kota Nabi shalallahu `alaihi wa sallam, Kamis, 17 Muharram 1427 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar