Jumat, 11 Maret 2011

Ente mau Dakwah, atau mau menghina Orang

oleh Belajar Salafy pada 10 Februari 2011 jam 17:33
Bismillah
Alkisah terkirim ke inbox ana sebuah pesan setelah ana mengirimkan pesan seputar masalah SIAPA YANG DISEBUT MUHADDITS AL-ALAMAH MUHAMMAD ALWI AL-MALIKY


Ente mau Dakwah, atau mau menghina Orang…
Masya Allah…
Islam Macam Apa Ente Ini…
Penuh Dengan Kebencian…
Bagaimana Orang mau belajar sama ente,
hatinya busuk…
macam iblis…
astaqghfirullah…
1. diawal pesan ana mengucapkan salam kepada orang yang ana anggap MUSLIM (ini terlepas dari kejahilan & kesalahan2 yg terdpt pada yg bersangkutan, sebab mengeluarkan seseorang dari Islam bukanlah perkara yang mudah SEBELUM KITA JUMPAI BUKTI YANG NYATA dari padanya), maka mengapakah antum tak menjawab salam ana?
Tidaklah kamu akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan tidaklah kamu beriman sehingga kamu saling mencintai. Tidaklah kamu mau kutunjukkan kepada sesuatu yang apabila kamu lakukan kamu akan saling mencintai .? Yaitu sebarkanlah salam di antara kamu”. [Hadits Riwayat Muslim. Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Bayan Annahu Laa Yadkhulu Al-Jannata illa Al-Mu'minuun 2:35]
bahkan terhadap kafir sekali pun kita diAJARKAN Rasulullah salallahu’alaihi wasallam untuk menjawab salam
“Janganlah kalian memulai kaum yahudi dan jangan pula kaum nashrani dengan ucapan salam “[Hadits Riwyat Muslim dalam As-Salam 2167]
Tapi jika mereka lebih dahulu mengucapkan salam kepada kita, maka hendaklah kita megucapkan seperti salam mereka kepada kita, hal berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)” [An-Nisa : 86]
2. Ente mau Dakwah, atau mau menghina Orang…
ana katakan :
siapa yang menghina ? & siapa yang dihina ?
jika anta menganggap apa yang ana utarakan dari artikel kemarin itu PENGHINAAN, atas dasar apa ? sepertinya anta LUPA, baiknya kita mengulang kembali seputar masalah Ghibah walau ana yakin anta sudah pernah belajar masalah ini
Hal-hal yang membolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
“Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa Dan orang yang mencari bantuan untuk menghilangkan kemungkaran”
Pertama : Pengaduan
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang lainnya, yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”. Dalilnya firman Allah:
“Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiyaya”. [An-Nisa’ : 148].
Pengecualian yang terdapat dalam ayat ini menunjukkan bolehnya orang yang didzholimi mengghibahi orang yang mendzoliminya, dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya, dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak mengharapkan bantuan mereka.
[Bahjatun Nadzirin 3/36,37]
Kedua : Minta Bantuan Untuk Mengubah Kemungkaran Dan Mengembalikan Pelaku Kemaksiatan Kepada Kebenaran.
Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.
Ketiga : Meminta Fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat dzolim padaku”, atau “Saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku, apakah hukuman yang dia dapatkan?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang semisalnya. Tetapi yang yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia berkata (kepada si mufti): “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
“Dari ‘Aisyah berkata: Hindun, istri Abu Sofyan, berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak memberi belanja yang cukup untukku dan untuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit)”
[Riwayat Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)]
Keempat : Memperingatkan Kaum Muslimin Dari Kejelekan.
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits. Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan lain-lainnya.
[(Al-Fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)]
Contoh yang lain yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nasehat. Dan tidak mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah.
“Fatimah binti Qois berkata: “Saya datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480) :”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”.
[Dan ini merupakan tafsir dari riwayat & ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya]
Kelima : Ghibah Dibolehkan Kepada Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Kefasikannya Atau Kebid’ahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
“ Aisyah berkata: “Seseorang datang minta idzin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. [Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591]
Namun diharomkan menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab lain yang membolehkannya.
[Bahjatun Nadzirin 3/35)]
Keenam : Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’roj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya, maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
3. Masya Allah…
Islam Macam Apa Ente Ini…
Penuh Dengan Kebencian…
Bagaimana Orang mau belajar sama ente,
hatinya busuk…
macam iblis…
astaqghfirullah…
ana pun hanya dapat katakan :
Kebenaran yang sampai janganlah disikapi dengan sinis sebab
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan :
Karena orang yang hidup di antara kalian sesudahku nanti, dia akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak sekali. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rosyidin setelahku. Gigitlah sunnahku dengan gigi geraham
[HR. Abu Dawud dan Tirmidzi]
maka wajiblah bagi kita untuk mengikuti FAHAMAN para Sahabat Radiallahu’anhum Jami’an, dari merekalah estafet ilmu Islam susul menyusul hinggal dizaman sekarang,dan bukan meyelisihi dalam hal Fiqih terlebih AKIDAH
luruskan niat untuk MENUNTUT ILMU sebagai BEKAL bagi kita menuju Mardhotillah,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya)
Beliau Shallallahu’alaihi wasallam juga mengatakan:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah mereka membaca Kitabullah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmah, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang berlambat-lambat dalam amalannya, niscaya tidak akan bisa dipercepat oleh nasabnya.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya)
TANPA TA’ASUB terhadap Ustadz ustadz anta dan buru buru MEMBENCI setiap yang MENYELISIHI anta
Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. (Az-Zukhruf: 23).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
“Kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) bahwa barangsiapa yang telah melihat sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan jelas, maka ia tidak boleh meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang.”
(Sementara itu) Abu Umar dan ulama-ulama lain mengatakan :
“Orang-orang telah bersepakat bahwa muqallid (orang yang taklid) tidak terhitung sebagai ahli ilmu (agama). Dan ilmu (agama) ialah memahami al-haq (kebenaran) melalui dalilnya.”
Semoga Allah menjaga Hati hati kita, diri diri kita, keluarga keluarga kita
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar