Jumat, 11 Maret 2011

Al-Jarh wat-Ta’dil adalah Perkara Ijtihadiyyah ?

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/02/al-jarh-wat-tadil-adalah-perkara.html
Di Blog-nya Abu Salma telah ditulis beberapa bahasan dan penjelasan mengenai tema di atas. Tentu kita paham bahwa tulisan itu ditujukan kepada beberapa orang yang mengaku ber-intisab pada madzhab salaf – yang kemudian menyebut diri mereka sebagai salafiyyun – namun sebenarnya mereka tidak lebih dari gerombolan muqalliduun yang jauh dari apa yang mereka nisbatkan.

Betul bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu adalah salah satu kaidah yang sangat penting dalam agama. Betul pula bahwasannya al-jarh wat-ta’dil itu tidak hanya khusus di bidang ilmu hadits. Dua kata ‘betul’ tadi menjadi benar-benar ‘betul’ jika memang dijalankan sesuai dengan kaidah dan aturannya. Sebaliknya, kata ’betul’ pun menjadi ’tidak betul’ jika diterapkan secara serampangan, sembrono, dan semau gue. Al-Jarh wat-Ta’dil itu bukan merupakan monopoli satu atau dua orang ulama saja. Bahkan bagi ulama yang telah dikenal pengetahuannya tentang ilmu itu. Harap kiranya kalimat ini tidak disangkakan bahwa saya bermaksud menyindir atau mencela ulama tertentu.
Sebagaimana yang telah dinukil oleh al-akh Abu Salma, permasalahan al-jarh wat-ta’dil ini membuka pintu perbedaan pendapat. Konsekuensinya, jika ada dua orang ulama yang telah dikenal keilmuan dan dakwahnya kepada sunnah berbeda pendapat akan ’status’ objek tertentu, maka tidak ada celah untuk membawa permasalahan ini kepada perpecahan dan saling cela satu sama lain, khususnya sesama Ahlus-Sunnah. Tidak lain karena permasalahan al-jarh wat-ta’dil itu asalnya merupakan perkara ijtihadiyyah. Sikap kita seharusnya adalah mengambil mana yang rajih (dan meninggalkan yang marjuh) di antara dua pendapat serta menghormati orang yang berselisih pendapat dengan kita. Jadi, sah-sah saja kita tidak mengikuti pendapat salah seorang ulama dan mengikuti ulama yang lain yang kita pandang lebih dekat dengan kebenaran menurut sisi pandang kita. Perkara ini masyhur sebenarnya di kitab-kitab para ulama,……….. Namun sayangnya hal ini seakan-akan menjadi lenyap tertelan bumi oleh sikap ghulluw dan ashabiyyah yang menjangkiti sebagian ikhwah ’salafiyyun’.
Sedikit akan saya berikan contohnya……..
Siapa yang tidak kenal dengan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah ? Ia adalah imam kota Madinah, panutan dalam ilmu di masanya. Apakah semua perkataannya dalam bidang al-jarh wat-ta’dil diterima dan haram hukumnya untuk ditolak ? Mari kita lihat tentang kasus Al-Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, seorang imam di bidang sirah. Apa kata Al-Imam Malik kepadanya ? Akan saya sebutkan sedikit di antaranya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
يحيى بن آدم: حدثنا ابن إدريس قال: كنت عند مالك، فقال له رجل: إن محمد بن إسحاق يقول: اعرضوا علي علم مالك فإني بيطاره.
فقال مالك: انظروا إلى دجال من الدجاجلة يقول: اعرضوا علي علم مالك.

Yahya bin Adam berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, ia berkata : Kami pernah bersama Malik (pada suatu saat). Ada seseorang yang berkata kepada beliau : Sesungguhnya Muhammad bin Ishaq berkata : ’Paparkan kepadaku ilmunya Malik, karena aku adalah pakarnya’. Maka Malik pun berkata : ’Lihatlah oleh kalian seorang pendusta (dajjal) di antara para pendusta itu. Ia mengatakan ’paparkan ilmunya Malik kepadaku’ ?” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’ oleh Adz-Dzahabi, 7/50; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9 – 1413 H/1993 M].
أبو جعفر العقيلي: حدثني أسلم بن سهل، حدثني محمد بن عمرو بن عون، حدثنا محمد بن يحيى بن سعيد القطان قال: قال أبي: سمعت مالكا يقول: يا أهل العراق من يغت عليكم بعد محمد بن إسحاق ؟
”Abu Ja’far Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepadaku Aslam bin Sahl : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ’Amru bin ’Aun : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, ia berkata : Telah berkata ayahku : Aku telah mendengar Malik berkata : ”Wahai penduduk ’Iraq, siapa lagi yang merusak kalian setelah Muhammad bin Ishaq ?” [idem, 7/53].
Jarh dari Al-Imam Malik kepada Ibnu Ishaq ini didahului oleh Hisyam bin ’Urwah yang menuduhnya pula sebagai pendusta. Adz-Dzahabi membawakan riwayat :
العقيلي: حدثنا العباس بن الفضل الاسفاطي، حدثنا سليمان بن داود، حدثنا يحيى بن سعيد، حدثنا وهيب: سمعت هشام بن عروة يقول: ابن إسحاق كذاب
”Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-’Abbas bin Al-Fadhl Al-Isfaathiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Aku mendengar Hisyaam bin ’Urwah berkata : ”Ibnu Ishaq adalah pendusta (kadzdzaab)” [idem, 7/48].
Hisyam bin ’Urwah dan Malik bin Anas rahimahumalah adalah para imam Ahlus-Sunnah yang telah melakukan jarh yang sangat jelas kepada Muhammad bin Ishaq. Tuduhan sebagai pendusta (apalagi sampai menyebut : dajjal) dalam ilmu hadits adalah salah satu jenis jarh yang paling berat. Namun apakah para imam selain keduanya menerima jarh mereka tanpa ada penyelisihan ? Ternyata tidak. Saya nukilkan perkataan ringkas dari Adz-Dzahabi tentang perselisihan antara Malik bin Anas dan Ibnu Ishaq :
لسنا ندعي في أئمة الجرح والتعديل العصمة من الغلط النادر، ولا من الكلام بنفس حاد فيمن بينهم وبينه شحناء وإحنة ، وقد علم أن كثيرا من كلام الاقران بعضهم في بعض مهدر لا عبرة به ، ولا سيما إذا وثق الرجل جماعة يلوح على قولهم الانصاف، وهذان الرجلان كل منهما قد نال من صاحبه، لكن أثر كلام مالك في محمد بعض اللين، ولم يؤثر كلام محمد فيه ولا ذرة، وارتفع مالك، وصار كالنجم، والآخر، فله ارتفاع بحسبه، ولاسيما في السير، وأما في أحاديث الاحكام، فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة إلى رتبة الحسن، إلا فيما شذ فيه، فإنه يعد منكرا.
هذا الذي عندي في حاله، والله أعلم.

”Kita tidak mengklaim bahwa dalam diri para imam al-jarh wat-ta’dil terjaga dari kesalahan yang jarang dan perkataan dengan nafas yang tajam dari seseorang dimana di antara mereka dengan dirinya terdapat permusuhan dan kebencian. Telah diketahui bahwa tidak sedikit perkataan sebagian orang terhadap kawan-kawannya yang lain akan sia-sia tanpa makna, lebih-lebih jika orang yang bersangkutan telah dinyatakan tsiqah oleh jama’ah dimana objektifitas terlihat dalam perkataan mereka. Kedua orang ini saling bersaing dengan rekannya. Akan tetapi perkataan Malik memberikan pengaruh pada diri Muhammad (bin Ishaq) dengan sedikit melemahkannya. Sebaliknya perkataan Muhammad tidak membekas pada diri Malik sedikitpun. Malik terangkat dan menjadi seperti bintang, sementara kawannya ini juga naik sesuai dengan keadaannya, lebih-lebih di bidang sirah. Adapun dalam hadits-hadits hukum, maka haditsnya turun dari derajat shahih menjadi derajat hasan. Kecuali pada apa-apa yang ada keganjilan (syadz) di dalamnya. Maka ia terhitung sebagai hadits munkar. Ini adalah kesimpulanku tentang keadaannya. Wallaahu a’lam” [idem, 7/40-41].
Begitu juga para imam lain yang membuat perincian dan penjelasan tentang jarh sebagai pendusta sebagian ulama kepada Ibnu Ishaq, dimana mereka tidak menerima begitu saja jarh tersebut. Sebut saja Al-’Iraqiy[1], Ibnu Hajar[2], dan yang lainnya yang tetap menerima riwayat dari Ibnu Ishaq.
Atau pembahasan mengenai khabaruts-tsiqat yang masyhur. Apakah setiap khabarun minats-tsiqaat – terutama berkaitan dengan al-jarh wat-ta’dil – harus diterima secara aklamasi tanpa boleh ada penyelisihan ? Barangsiapa yang menyelisihi akan diikut di-jarh tanpa ada ampun ?[3] Ada kisah menarik Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farra’ rahimahullah, salah seorang pembesar madzhab Hanabilah. Ia pernah dituduh sebagai mujassimah, sebagaimana hal itu dikatakan oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy rahimahullah. Ibnul-’Arabiy berkata :
”Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku, bahwa Abu Ya’la Muhammad bin Husain Al-Farra’, pemuka madzhab Hanabilah di Baghdad, pernah berkata apabila ia menyebut Allah ta’ala dan dalil-dalil dhahir yang menetapkan shifat-shifat-Nya, ia berkata : ”Berikanlah konsekuensi apapun yang kalian inginkan kepadaku. Aku akan menerimanya, kecuali jengot dan aurat” [Al-’Awaashim minal-Qawaashim oleh Al-Qadli Abu Bakr bin Al-’Arabiy, hal. 209-210, tahqiq : Dr. Ammar Thalibi].
Beberapa ulama telah membantah ’khabaruts-tsiqaat’ ini. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وما نقله عنه أبو بكر بن العربي في العواصم كذب عليه عن مجهول لم يذكره أبو بكر وهو من الكذب عليه
”Dan apa-apa yang dinukil dari Abu Ya’la oleh Abu Bakr bin Al-’Arabiy dalam kitab Al-’Awaashim adalah satu kedustaan terhadapnya. Nukilan ini berasal dari seorang yang majhul (tidak diketahui identitasnya) yang tidak disebutkan namanya oleh Abu Bakr (bin Al-’Arabiy). Perkataan ini termasuk kedustaan terhadap Al-Qadli Abu Ya’la” [Dar’ut-Ta’aarudl Al-’Aql wan-Naql oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, 5/238, tahqiq : ’Abdul-Lathif bin ’Abdirrahman; Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. Thn. 1417].
Al-Qadli Ibnul-’Arabiy adalah seorang tsiqah. Yang mengkhabarkan kepada beliau pun dikatakan olehnya (Ibnul-’Arabiy) juga sebagai seorang yang tsiqah.[4] Namun pengkhabaran ini tidak diterima oleh Syaikhul-Islam karena apa yang tampak oleh beliau dari perkataan-perkataan Al-Qadli Abu Ya’la dalam kitab-kitabnya sama sekali tidak menunjukkan tuduhan itu. Syaikhul-Islam tidak menerimanya walaupun Ibnul-’Arabiy telah menegaskan bahwa khabar itu diperolehnya dari salah seorang gurunya yang terpercaya. Al-Qadli Abu Ya’la mengatakan bahwa ia sering difitnah karena ’aqidahnya yang lurus mengenai shifat-shifat Allah yang menolak ta’wil (yang bathil) ala Asyaa’irah, dimana musuh-musuhnya berkata : ”Dalam kitab tersebut (yaitu kitab Ibthaalut-Ta’wiil), ia telah menyebutkan bab kelamin, dua buah pelir, mulut, jenggot, kepala, bulu dada, rambut, sandal sharrarah, naik keledai, berjalan di pasar, dan bahwa Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda, dan yang lain-lainnya”. Beliau mengatakan bahwa apa yang dikatakan musuh-musuhnya tentang dirinya hanyalah kedustaan dan kebohongan belaka [lihat selengkapnya dalam Ibthaalut-Ta’wiil, hal. 187/A].
Oleh karena itulah – sekali lagi – Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menolak khabaruts-tsiqaat-nya Al-Qadli Ibnul-’Arabiy rahimahumallah. Yaitu dengan alasan-alasan yang menurut sisi pandang beliau cukup kuat.
Jika demikian, bukankah hal itu di jaman sekarang masih berlaku ? Apalagi jaman sekarang didominasi oleh para muqallid yang miskin ilmu ?[5] Jaman dimana banyak tuduhan tidak mempunyai sisi pandang yang dianggap.
Contoh lain lagi,….. Kita ambil contoh kontemporer. Misalnya perbedaan pandangan mengenai status Asy-Syaikh Rasyid Ridla rahimahullah. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah[6] dan banyak di antara murid-muridnya menganggap bahwa Asy-Syaikh Rasyid Ridla bukan Ahlus-Sunnah. Bahkan ia dianggap seorang Mu’taziliy (berpemahaman Mu’tazillah). Namun di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin, dan jumhur ulama muta’akhkhirin lainnya menganggapnya masih sebagai ulama Ahlus-Sunnah (yang terjatuh dalam kesalahan dalam ijtihad). Sampai sini tidak terlalu masalah bagi kita. Namun datanglah kemudian sebagian muqallid yang menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai asas saling cela terhadap sesama. Allaahul-Musta’aan…… Dan yang lainnya.[7]
Sungguh sangat menyedihkan perilaku orang-orang belakangan ini. Mereka menjadikan sempit apa yang sebenarnya luas bagi kaum muslimin (Ahlus-Sunnah). Sikap keras (baca : sok keras) yang mereka ada-adakan adalah wujud dari sikap tidak mau melihat realitas perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jika mereka membahas fiqh murni, bahasan perbedaan pendapat (khilaf ijtihadiyyah) ini ada mereka tampilkan. Tapi giliran membahas al-jarh wat-ta’dil – terutama dalam kasus kontemporer – bahasan ini menjadi lenyap bagai tertelan bumi. Padahal kedudukan dua hal ini adalah sama. Mereka menginginkan bahwa penyelisihan (khilaf) yang pantas diberikan pemakluman padanya adalah penyelisihan yang terjadi di kalangan orang-orang tertentu saja, terutama pihak-pihak yang mereka tokohkan. Namun jika penyelisihan itu terjadi pada orang-orang tidak mereka kehendaki, maka penyelisihan itu mereka anggap seakan-akan merupakan penyelisihan terhadap nash atau ijma’ yang tidak diberikan ruang pemakluman. Hal itu diperparah dengan sikap menyembunyikan fakta karena mengikuti hawa nafsu.[8]
Kedangkalan penyikapan itu juga dikarenakan oleh sebab akut mereka yang tidak bisa membedakan antara perselisihan yang lahir dari penyimpangan prinsip ilmu dengan perselisihan yang lahir dari perbedaan memandang realitas.[9] Dalam hal ushul ilmu, mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) tidak berbedalah berbeda. Mereka semua sama dalam hal ushul-ilmu tentang kewajiban memegang manhaj salaf, membenci sikap hizbiyyah dan orang-orang hizbiyyin, serta membenci perpecahan dan mencintai persatuan (dengan dasar ’aqidah dan manhaj). Perselisihan mereka (terutama dalam masalah al-jarh wat-ta’dil) adalah perselisihan tentang jenis kesalahan tertentu yang telah dilakukan oleh seorang ulama apakah cukup membuatnya keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah atau tidak ? Jika perselisihannya adalah dalam perkara ini, maka tidak seharusnya menjadi sebab tafaarruq di kalangan Ahlus-Sunnah !!
Semoga kita terhindar dari berbagai macam fitnah dan bukan termasuk orang yang menjadikan fitnah yang ada bertambah besar. Hanya kepada Allah lah kita mengadu dan memohon pertolongan. Wallaahu a’lam.
Abul-Jauzaa’ – Ciomas Permai.
NB : Apa yang saya tuliskan di sini bukan hendak mendeskreditkan beberapa ulama yang disebutkan dalam tulisan ini. Kita mencintai Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin, Asy-Syaikh Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi, Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy, Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy, dan yang semisal dengan mereka. Mereka semua adalah ulama Ahlus-Sunnah yang kita cintai. Kita tidak memilih-milih salah seorang pun di antara mereka dengan meninggalkan yang lainnya.
Selain itu, apa yang saya tulis hanyalah buih tambahan atau bahkan pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh al-akh Abu Salma dalam blognya.

[1] Al-‘Iraqiy berkata :
المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima” [Tharhut-Tatsrib Syarh At-Taqrib oleh Al-‘Iraqi, 8/72].
[2] Ibnu Hajar berkata :
ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث….وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
”Selama ia tidak bersendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, namun merupakan hadits yang berderajat hasan dengan syarat ada penegasan penyimakan haditsnya…….. Dan yang menganggap shahih haditsnya hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya” [Fathul-Baari oleh Ibnu Hajar 11/163].
[3] Sebagaimana pendapat muta’akhkhirin yang mengharuskan menerima khabaruts-tsiqaat secara mutlak tanpa boleh ada penyelisihan, walaupun penyelisihan itu mempunyai qarinah yang cukup kuat.
[4] Ditunjukkan oleh perkataan Ibnul-‘Arabiy : “ Di antara syaikh (guru)-ku yang terpercaya telah mengkhabarkan kepadaku”.
[5] Menyedihkannya, itu terjadi pada orang-orang yang mengklaim dirinya di atas manhaj salaf – padahal ia sangat jauh darinya. Yaitu, ketika salah seorang ustadz mengatakan bahwa si Fulan itu hizbiy atau surury, maka para muqallid ramai-ramai membeonya. Mereka (para muqalliduun) tersebut tidak menghendaki satu pun ruang toleransi kepada saudaranya (yang sama-sama seperti dirinya yang ingin meniti manhaj salaf, manhaj Ahlus-Sunnah). Ia tidak mentolerir sama sekali dengan adanya kemungkinan alasan bahwa apa yang dilihat oleh saudaranya terhadap si Fulan tersebut tidak sesuai dengan dakwaannya. Padahal, apa yang dilihat oleh saudaranya itu, si Fulan bukanlah hizbiy, bukan pula sururiy. Tragisnya, diberlakukanlah kemudian kaidah yang buruk oleh mereka : ”Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia menjadi musuh kami” (wa man laisa ma’anaa fahuwa ’alainaa). Para muqalliduun itupun akhirnya men-tahdzir dan meng-hajr saudaranya yang Ahlus-Sunnah secara mutlak, baik yang pandai sampai yang masih bodoh, baik yang mengetahui permasalahannya sampai yang baru belajar mengaji gak tahu apa-apa. Semua diperlakukan ’sama’ hanya karena punya ’koneksi’ dengan si Fulan. Para muqalliduun itu men-tahdzir dan meng-hajr berdasarkan igauan, bukan dengan ilmu………
[6] Lihat dalam kitab beliau yang berjudul : Rudud Ahlil-‘Ilmi ‘alath-Thaa’iniin fii Hadits As-Sihri wa Bayaani Bu’di Muhammad Rasyid Ridlaa ’anis-Salafiyyah.
[7] Misalnya : Perbedaan pandangan antara Asy-Syaikh Al-Albani dan jumhur ulama dengan Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri (dan yang sepakat dengan beliau) mengenai Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam rahimahullah, perbedaan pandangan jumhur ulama muta’akhkhirin dengan Asy-Syaikh Muqbil mengenai status Abu Hanifah rahimahullah, dan yang lainnya.
[8] Seperti misal saudara-saudara kita yang ghuluw di Inggris dan Amerika yang menjalankan situs salafipublication, salafitalk, troid, dan yang lainnya. Ketika ada permasalahan antara Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy dengan Dr. Ahmad Bazmul, dengan serta merta mereka mem-blow up permasalahan tersebut dan ikut bicara memperkeruh keadaan. Dulu, mereka menyebut Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai Al-’Allamah Al-Muhaddits. Namun setelah muncul permasalahan yang berkaitan dengan Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, maka ’status’ Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy turun menjadi sekedar thaalibul-’ilmi. Mereka menurunkan ’status’ Asy-Syaikh ’Ali karena beliau tidak menganggap Abul-Hasan Al-Ma’ribiy sebagai seorang mubtadi’ (namun masih seorang ulama Ahlus-Sunnah yang telah terjatuh dalam sebagian kesalahan). Beliau (Syaikh ’Ali) tidak sendirian dalam hal ini. Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad bersama beberapa ulama yang lain pun tidak jauh berbeda dengan posisi beliau dalam hal ini. Namun di sisi lain, sebagian masyaikh (seperti Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh ’Ubaid, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, dan yang lainnya hafidhahumullah) menganggap Abul-Hasan sebagai seorang mubtadi’ yang keluar dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Mereka (para muqalliduun) belum begitu mencela Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy karena Asy-Syaikh Rabi’ pernah melarangnya. Begitu pula Dr. Muhammad bin ’Umar Bazmul sangat menghormati beliau (hingga saat ini). Namun ketika Asy-Syaikh ’Ali menuliskan sebuah risalah (kitab) – yang kemudian mereka anggap sebagai satu pembelaan terhadap mubtadi’ –, yang tidak lama kemudian ditindaklanjuti dengan bantahan yang dikeluarkan oleh Dr. Ahmad Bazmul dan Abu ’Abdirrahman Sa’d Az-Za’tiriy; maka status Asy-Syaikh ’Ali pun turun lagi dari thaalibul-’ilm menjadi : bukan apa-apa (baca : bukan ’ulama). Mereka tidak menganggap bahwa perselisihan ini adalah perselisihan di antara ahlul-ilmi yang harus disikapi dengan bijak. Perselisihan itu merupakan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Ahlus-Sunnah dalam sebagian perkara ijtihadiyyah.
Lucunya,…. di sisi lain mereka ’menyembunyikan’ fakta adanya perselisihan antara Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri dengan Asy-Syaikh ’Ubaid Al-Jabiriy. Bahkan salah seorang di antara keduanya sampai mengatakan bahwa yang lainnya bukanlah ulama. Mereka juga menyembunyikan fakta kritikan Asy-Syaikh Al-Ghudayan kepada Asy-Syaikh Rabi’ (dan juga Asy-Syaikh ’Ali) tentang permasalahan irja’ (walaupun kritikan ini juga perlu dicermati lebih lanjut). Mereka diam saja seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Lebih lucu dari yang sebelumnya,…… ketika Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad menulis kitab Ar-Rifqan – dimana kitab ini dipuji oleh Asy-Syaikh ’Ali Al-Halabiy sebagai kitab yang sangat bagus (karena kitab ini mengkritik perilaku sebagian orang yang sok keras yang menerapkan tahdzir dan hajr secara serampangan yang dengan itu menimbulkan perpecahan di kalangan Ahlus-Sunnah) – Fauziy Al-Bahrainiy menulis satu bantahan untuk kitab ini (sekaligus penulisnya). Untuk menguatkan kritikan ini, ditulislah beberapa ’pujian’ yang kira-kira dapat mengangkat status Fauziy Al-Bahrainiy (termasuk pernyataan bahwa ia adalah murid Asy-Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah). Ketika kritikan itu beredar, maka mengalirlah pembelaan dari beberapa ulama Ahlus-Sunnah yang mu’tabar seperti Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh ’Abdus-Salam bin Barjas, dan yang lainnya terhadap kitab Ar-Rifqan dan penulisnya. Pembelaan ini belumlah dianggap oleh mereka. Namun ketika Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy telah angkat bicara men-tahdzir Fauziy Al-Bahrainiy, maka mereka baru ikut men-tahdzir Fauzi Al-Bahrainiy. Mereka anggap sepi – seakan-akan tidak terjadi apa-apa – terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu dalam hal pembelaannya terhadap Fauzi Al-Bahrainiy dan dukungan mereka atas kritikan terhadap Asy-Syaikh ’Abdul-Muhsin Al-’Abbad dengan kitab Ar-Rifqan-nya. Kasus yang sama dengan Fauzi Al-Bahrainiy terjadi pada Falih Al-Harbiy. Begitulah mereka………
Dan ini yang paling lucu dari yang sebelum-sebelumnya….. ketika dulu Asy-Syaikh Abul-Hasan Al-Ma’ribi belum ramai dibicarakan, maka ia dianggap salah satu murid Asy-Syaikh Muqbil yang paling pandai dan unggul dalam ilmu hadits. Bisa dikatakan, tidak ada (jarang) ditemukan diantara murid Asy-Syaikh Muqbil yang dapat mengungguli Abul-Hasan Al-Ma’ribi dalam ilmu hadits. Namun ketika fitnah menerpanya, maka ia bukan lagi apa-apa. Ia tidak lagi dipandang sebagai seorang ulama hadits. Ilmu hadits yang beliau kuasai (dan pernah mereka akui) menjadi ’hilang’ karena adanya fitnah – padahal para ulama belum ittifaq dalam hal tabdi’ terhadap Abul-Hasan. Pernyataan bahwa Abul-Hasan merupakan salah satu murid terbaik Asy-Syaikh Muqbil dalam ilmu hadits pun lenyap tak berbekas. Kritikan dan kebencian mereka itu membabi buta. Tidak objektif dan proporsional lagi. Persis seperti hilangnya status ’muhaddits’ kepada Asy-Syaikh ’Ali sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Begitulah mereka………… [lha wong yang namanya Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth saja masih diakui sebagai seorang muhaddits oleh para ulama walau beliau ini banyak terjatuh dalam kesalahan ta’wil Asya’irah dalam permasalahan shifat Allah – baca kitab : Istidraak wa Ta’qiib ’alasy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth fii Ta’wiilihi Ba’dli Ahaaditsish-Shifaat oleh Khaalid bin ’Abdirrahman Asy-Syaayi’, qara-ahu wa ’allaqa ’alaihi : Asy-Syaikh Ibnu Baaz].
Sayangnya,….. kelakuan orang-orang yang ghulluw dari daratan Inggris dan Amerika ini diikuti oleh sebagian orang-orang Indonesia. Khususnya – perlu saya sebutkan – adalah pemilik blog tukpencarialhaq.wordpress. Tidak ragu bagi saya untuk mengatakan bahwa pengelola blog ini adalah orang bodoh, sebagaimana diakui oleh Al-Ustadz ’Abdul-Mu’thi (yang notabene adalah salah seorang ustadz yang menjadi garis ilmu orang tersebut).
[9] Satu kaidah mengatakan : { التفريق في مواضع الخلاف بين ماكان مرده إلى المنازعة في الأصول العلمية وبين ماكان مرده إلى التفاوت في تقدير الواقع} ”Membedakan antara khilaf yang timbul dari penyimpangan ushul ’ilmiyyah dengan khilaf yang timbul dari perbedaan memandang realitas”.
Ketidakpahaman akan hal ini menyebabkan mereka mencela seseorang (ulama) yang sebenarnya tidak pantas untuk dicela. Misalnya saja mereka mencela Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid atau Asy-Syaikh Ibnu Jibrin yang dianggap cenderung membela Sayyid Quthb. Permasalahannya adalah jelas. Dalam hal prinsip ilmu, maka Asy-Syaikh Bakr bin ’Abdillah Abu Zaid dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin tidaklah berbeda dengan para masyaikh lainya (seperti misal : Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhaliy). Dan mereka sangatlah berbeda dengan Sayyid Quthb dalam hal prinsip ilmu (baik dalam ’aqidah dan manhaj secara umum). Perbedaan di antara para ulama tersebut berkisar apakah kesalahan Sayyid Quthb itu cukup mengeluarkannya dari lingkaran Ahlus-Sunnah. Selain itu, perbedaan itu juga disebabkan perbedaan kedalaman telaahan realitas terhadap karya-karya Sayyid Quthb. Tidak diragukan lagi bahwa dalam hal ini Asy-Syaikh Rabi’ lebih mendekati kebenaran dibandingkan yang lainnya. Namun bukan berarti dengan hal ini kita boleh seenaknya mencela Asy-Syaikh Bakr dan Asy-Syaikh Ibnu Jibrin dengan perkataan-perkataan yang tidak layak seperti : Quthbiyyun, bukan ulama, pendukung hizbiyyin, dan yang sejenisnya. Mereka semua kita cintai dan kita dudukkan sebagaimana kedudukan yang semestinya sebagai seorang ahli ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar